Kembang Wali (Syabab Zuhuur Awliyak)

 


ABOUT ME


Razali Bin Hassan
Singapore
Master of Pencak Silat Kembang Wali.
View my complete profile


LINKS

pencak silat
persisi
persilat
kidi
nur alhayat
hikam
al-risalah
istilah-istilah tasauf
suluk
martabat tujuh
sufi islam
yaya

 


September 25, 2006
Jangan Ragu dengan Janji Allah

Sebagai hamba yang lemah janganlah menodai keyakinannya kepada janji Allah bila belum mendapat kenyataan janji-Nya. Manusia mengira bahwa tanda-tanda yang terjadi sebagai bukti akan turun janji Allah. Tetapi yang sesungguhnya tidak harus demikian adanya, sebab perhitungan Allah tidak sama dengan perhitungan hamba-hamba-Nya. Sebagaimana yang terjadi dalam Suhul-Hudaibiyah.

LAA YUSYAKKIKANNAKA FILWA-DI -ADAMU WUQUU-IL MAU-UUDI WAIN TA-AYYINA ZAMANUHU LI-ALLAA YAKUUNA DZAALIKA QADHAAN FII BASHIRATIKA WAIKHMAADAAN LINUURI SARIIRATIKA.

Jangan sampai meragukan kamu, terhadap janji Allah, karena tidak terlaksananya apa yang telah dijanjikan itu meskipun telah tertentu (tiba) masanya, supaya tidak menyalahi pandangan mata hatimu, atau memadamkan nur cahaya hatimu (sirmu).

Sebagai hamba yang lemah janganlah menodai keyakinannya kepada janji Allah bila belum mendapat kenyataan janji-Nya. Manusia mengira bahwa tanda-tanda yang terjadi sebagai bukti akan turun janji Allah. Tetapi yang sesungguhnya tidak harus demikian adanya, sebab perhitungan Allah tidak sama dengan perhitungan hamba-hamba-Nya. Sebagaimana yang terjadi dalam Suhul-Hudaibiyah.

Sebelum terjadi Perdamaian Hudaibaiyah, Rasulullah saw. sempat bermimpi bahwa beliau bersama para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam keadaan sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting. Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat[1][1]. Ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. Pada saat kaum muslimin ditolak memasuki kota Mekah dan Umroh oleh kaum Quraisy maka terjadi penandatanganan surat perjanjian yang dikenal dengan Suhul Hudaibiyah (Perdamaian Hudaibiyah).

Andaikata pada tahun terjadinya Perdamaian Hudaibiyah itu kaum muslim memasuki kota Mekah, maka keselamatan orang-orang yang menyembunyikan imannya yang berada di kota Mekah waktu itu dikhawatirkan. Ini sebagai bukti kasih sayang Allah terhadap hamba-hambaNya dalam menunaikan janji-Nya walau ditunda sekalipun.

Setelah memperhatikan serangkaian peristiwa Perdamaian Hudaibiyah walau sekilas dapatlah ditarik garis lurus bahwa perhitungan Allah memang tidak sama dengan perhitungan hamba-hamba-Nya.

Oleh karena itu, barang siapa dijanjikan Tuhannya pada waktu dan masa yang telah ditentukan, kemudian pada masa yang dijanjikan tidak turun apa yang diharapkannya maka janganlah berkelakuan seperti orang-orang munafik di zaman Rasulullah saw. Sebab hal semacam itu akan menodai keyakinan serta mengotori keimanannya kepada janji Allah.

Karena syak (ragu) terhadap kebenaran janji Allah adalah kufur dan musyrik hukumnya. Juga membutakan matahati tuk memandang kebenaran janji Allah. Maka sudah selayaknya bagi seorang hamba itu mengenal Qadar-Nya dan beradab pada Tuhannya seraya sukun (tetap hati) memandang baik kepada-Nya pada barang yang dijanjikanNya. Seperti pandangan mereka, para Arifin Billah, yang tak pernah berubah Itiqod-nya.

Maka jadikan dirimu dalam penyerahan kepada Allah secara total dengan diiringi rasa syukur kepada-Nya atas karunia yang ada padamu dalam menjalankan Amar maruf nahi munkar. Juga apa-apa yang datang kepadamu adalah karunia dari-Nya sebagai bukti kasih sayang-Nya. Adapun sesuatu yang belum engkau dapatkan walau engkau menginginkannya, maka hal itu sebagai tanda penjagaan-Nya kepadamu. Sebab keinginanmu masih pada tahap warna nafsu yang akan mencelakakanmu.

Nafsu itu yang selalu meluncurkan anak panah syahwat ke matahati, bila matahati terkena anak panah syahwat, jadilah hati itu buta.Yang dimaksud buta ialah buta dari kehendak Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Resikonya, cahaya yang memancar di lubuk hati, juga disebut nurul asror akan menjadi padam dan tak dapat menerangi akal tuk membedakan antara Atsar dengan Hukum.

Perlu saya pertegas disini, bahwa matahati itu ialah Nur yang diletakkan Allah dengan wasithoh kuat iman. Nur juga dapat diperoleh dari petunjuk akal yang suci, hingga meningkat menjadi Asror Rububiyah. Itulah yang disebut Nurul Hidayah yang menjadi tonggak perjalanan bagi orang-orang yang menuju kepada Allah dengan taburan Rohmaniyah-Nya. Maka sucilah hatinya dari syirik khofi yang mengotori hati dan menghambat perjalanan. Juga terlepas dari syak terhadap janji Allah hingga terbuka matahati dengan memperoleh petunjuk dan mahabah serta tak berkehendak kepada amal dan sebab.


posted at 9/25/2006 09:14:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink

September 18, 2006
Makrifat kepada Allah sebagai puncak tujuan hamba.

Marifah kepada Allah adalah puncak keuntungan seseorang hamba. Maka apabila Tuhan telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal kepada-Nya, tidak usahlah kau hiraukan berapa banyak amal perbuatanmu; meskipun masih sangat sedikit amal kebaikanmu sekalipun. Sebab marifah merupakan suatu karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.

IDZAA FATAHA LAKA WIJHATUN MINAT TA-ARRUFI FALAA TUBAALI MAAHAA IN QALLA AMALUKA FAINNAHU MAA FATAHAHAA LAKA ILLA HUWA YURIIDU AN YATA-ARRAFA ILAIKA ALAM TA-LAM ANNAT TA-ARRUFA HUWA MUURIDUHU ALAIKA WAL A-MAALU ANTA MUHDIHAA ILAIHI WA-AINA MAA TUHDIIHI ILAHI MIMMAA HUWA MUURIDUHU ALAIKA.


Apabila Tuhan membukakan bagimu suatu jalan untuk marifah, maka jangan menghiraukan soal amalmu yang sedikit, sebab Tuhan tidak membukakan bagimu, melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu.Tidakkah kau ketahui bahwa marifah itu semata-mata pemberian karunia Allah kepadamu, sedang amal perbuatanmua hadiah daripadamu, maka dimanakah letak perbandingannya antara hadiyah dengan pemberian karunia Allah kepadamu?

Fitrah manusia mengenal Allah, baik dalam pengertian aam(umum) maupun dalam arti khush (khusus). Yang dimaksud mengenal Allah dalam pengertian umum ialah pengenalan iman kepada Allah, sebagaimana yang dikaji dalam aqoidul iman yang sangat mendasar. Itulah ilmu tauhid yang disebut sebagai inti agama. Atau pokok dari segala yang pokok. Dengan kata lain, tauhid merupakan keyakinan yang paling dasar untuk diajarkan kepada setiap manusia sebelum lebih jauh menjalar pada aspek-aspek lain dalam agama.

Adapun yang dimaksud pengenalan secara khusus ialah mengenal Allah dalam arti Marifatullah (melihat Allah) dengan matahati. Maka ia melihat Tak ada perbuatan yang bertebaran di alam ini , kecuali perbuatan Allah; Tak ada nama yang melekat pada suatu apapun, melainkan nama Allah; Tak ada sifat yang mewarnai diri, kecuali sifat Allah; Tak ada zat yang meliputi makhluk, melainkan Zat Allah. Dengan tahapan Ilman Yaqin, Ainul Yaqin, Haqqul Yaqin dan Akmalul Yaqin[1][1].

Anugrah Allah kepada hamba yang dikasihiNya merupakan lensa marifah yang hakiki kepada-Nya. Sebab bagi orang yang tak dapat anugerah Allah, ia mengenal Tuhan mereka menurut versi angan khayal mereka. Seperti Firaun yang menuhankan dirinya, Namrud menuhankan patung batu (arca) dan di zaman kini banyak orang yang menuhankan sesuatu selain Allah, seperti menuhankan kekuatan alam dan teknologi. Mereka itu sebagai contoh orang yang tidak mendapat anugerah marifah dari Allah.

Jika Allah telah menunjukkan kepada hamba-Nya dengan sebagian sebab-sebab sehingga ia menjadi orang yang marifah, kemudian kepadanya dibukakan pintu kemarifahan yang tetap (sakinah) sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa. Dan ini merupakan nikmat yang paling besar.

Hal ini pernah dialami oleh Nabi Ibrahim as dalam mengenal Tuhannya: Dan demikian Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah akau termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan[2][2].

Ibrahim as. dapat anugerah marifah kepadaNya dengan melalui perjalanan yang tentunya melelahkan, tetapi hal itu telah diganti dengan rasa nikmat yang besar serta ketenangan yang sangat luar biasa.

Kemudian yang terjadi pada perjalanan Nabi Musa as. dalam mengenal Tuhannya:

Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku[3][3]. Dan telah Kami janjikan kepada Musa sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: Gantikanlah aku dalam (meminpin ) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, gunung itu jadi hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman[4][4].

Liku liku perjalanan Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as dalam mencari Tuhannya yang sebenarnya tampak penuh dengan tantangan . Tetapi semua peristiwa yang dialaminya bermuara pada alur bimbingan-Nya, mereka tidak bisa mengelak dari alur itu. Maka itulah yang disebut Anugerah Allah. Sehingga mereka berdua menemukan Ilahul Haq alias Tuhan yang sesungguhnya, yaitu Allah.

Apabila kamu dibukakan pintu marifah yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan amalmu yang sedikit. Sebab di atas telah diterangkan bahwa marifah itu adalah anugerah dari Allah yang datangnya tidak menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal kebaikan.

Marifah adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya. Dimisalkan; anugerah itu seperti martabat seorang budak yang diangkat oleh raja menjadi perdana menteri. Adapun amal ibadah seumpama upeti rakyat kepada rajanya. Maka betapa sangat jauh perbedaan antara keduanya.

Ketahuilah wahai para salikin! Sesungguhnya maksud dan tujuan kebanyakan manusia memperbanyak amal kebaikan itu adalah agar mereka dapat mendekatkan (Taqarrub) dirinya kepada Allah dengan amal itu. Tetapi perlu disadari bahwa itu tidak akan berubah maksudnya karena banyak atau sedikitnya amal seorang hamba.

Dalam hal ini dapat dimisalkan seperti orang yang sedang menderita sakit, disebabkan penyakit yang dideritanya maka menjadi berkuranglah ibadahnya kepada Allah. Boleh jadi penyakit yang dideritanya itu sebagai sebab dan isyarat terbukanya pintu kemarifahan kepada Allah.

Oleh sebab itu jangan mempunyai perasaan banyaknya amal ibadah yang tertinggal disebabkan sakit. Dengan sakit yang dideritanya itu bisa merasa dekat dengan Allah. Perasaan lapang dada, luas hatinya dan telah meninggalkan berbagai kenikmatan dunia seraya diiringi oleh rasa cinta negeri akhirat. Juga telah siap tuk meninggalkan dunia nan fana sebelum kematian itu datang. Ini juga sebagai pertanda orang yang telah mendapatkan Nur Ilahi atau anugerah Allah. Kesadarannya bahwa Allah bisa berbuat apa saja menurut kehendaknya, sebagai tanda kearifannya .


posted at 9/18/2006 06:08:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink

September 17, 2006
Meraih Cinta Abadi


Orang yang beriman pasti mendambakan cinta kasih Allah. Namun untuk memperoleh cinta-Nya, seorang hamba harus menyerahkan sepenuh hidupnya dengan mengabdi kepada Allah, lewat berbagai cara. Setiap pengabdian yang dilakukan harus dilandasi rasa cinta yang tulus, agar mendapat balasan cinta-Nya.
Cinta memang menempati posisi tertinggi dalam pencapaian spiritual seseorang. Bagaimanakah cara untuk mendapatkan cinta-Nya? Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa cinta yang tulus dan abadi.


"Katakanlah (ya Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali Imran: 31).

Cinta yang diawali dengan beriman kepada Allah merupakan langkah yang tepat bagi orang-orang yang sedang mencari cinta sejati. Seseorang tidak akan mendapatkan cinta sejati dari manapun, kecuali hanya dari Allah.

Orang yang mencintai Allah, secara otomatis akan muncul kecintaannya kepada para utusan Allah. Sebagaimana umat Islam mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Nabi Besar Muhammad Saw. yang digambarkan bagai bulan purnama.

Kecintaannya kepada Rasulullah Saw. jangan seperti orang-orang yang mensejajarkan Nabi dengan Tuhan, karena dapat menimbulkan kultus dan penyembahan. Cinta kepada Nabi dan Rasul itu bukan untuk di sembah, tapi kecintaan itu harus kembali kepada keimanan, bahwa Nabi dan Rasul itu sebagai penerima wahyu dan penyampai risalah yang benar kepada umat.

Meraih Cinta-Nya

Tidak ada jalan lain untuk meraih cinta Allah, kecuali mengikuti Rasulullah Saw. Dan untuk mengikuti Rasul-Nya, harus mematuhi dan menaati segala perintah dan larangan yang telah dicontohkan, sehingga akhirnya Allah akan mencintainya.

Kepatuhan dan ketaatan akan timbul pada diri orang yang beriman, melalui proses bimbingan dari seorang Syekh Mursyid atau yang disebut Ulama waratsatul anbiya' (pewaris nabi).

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun (wali mursyid) yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (Al Kahfi: 17).

Karena hanya orang-orang yang beriman yang merasakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cintanya dapat menenggelamkan dirinya dalam lautan pengabdian abadi, nyaris tak tersisa perintah yang dikerjakan menjadi amal saleh.


"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya." (Yunus: 9).

Banyak amalan yang bisa dikerjakan oleh orang-orang yang sedang berusaha menggapai cinta-Nya, misalnya mengerjakan shalat wajib, shalat sunah dan teristimewa shalatullail (shalat malam) secara istikamah, sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw. "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).

Tercatat dalam tarikh Nabi Saw. sepanjang hidupnya tidak pernah meninggalkan shalat malam. Bahkan ada beberapa hadis yang menjelaskan, beliau mengerjakan shalat sepanjang malam hingga kakinya bengkak. Kendatipun beliau sudah mendapatkan kepastian cinta-Nya, namun tetap melakukan apa saja yang dicintai Allah dengan rasa cinta. Karena di dalam shalat terkandung kemesraan memandang ke-Elok-an wujud-Nya.


"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Thaahaa: 14).

Shalat merupakan puncak kemesraan bercinta dengan Allah. Kemesraan itu sama dengan khusyuk, orang yang khusyuk shalatnya adalah orang yang benar-benar sedang menikmati kemesraan-Nya. Kenikmatan dan kelezatannya tak dapat dilukiskan dengan apa pun. Dengan kata lain, tidak akan merasakan kenikmatan shalat, kecuali orang-orang yang sedang bermesraan dengan Allah. Karena itu, suatu keberuntungan dan hidayah dari Allah bagi orang yang mencapai kemesraan dalam shalatnya (khusyuk).

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya." (Al Mu'minuun: 1 & 2).

Shalat adalah media hubungan antara hamba dengan Tuhan, sekaligus sarana untuk menjalin hubungan cinta seorang hamba. Dengan shalat, seorang hamba dapat menebarkan rayuan-rayuan untuk-Nya seperti; tahmid, tasbih dan takbir yang merupakan rangkaian keagungan dan kemuliaan diri-Nya yang Maha Tinggi. Kendatipun Ia tidak perlu rayuan dalam bentuk apapun dari seorang hamba, tapi hamba harus tetap memuji-Nya. Sebab, Dialah Wujud Zat yang berhak dipuji sebagai Tuhan semesta alam. Yang memiliki sifat Rahman Rahim dan memiliki Kerajaan langit dan bumi. Dia pula yang menjadi Raja di hari peradilan kelak, karena semua urusan akan dikembalikan kepada-Nya.


"Kepunyaan Allah Kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan." (Al Hadiid: 5)


posted at 9/17/2006 07:30:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink

September 15, 2006
Kasih Rasulullah saw


Tajuk ini berhubung dengan permasalahan aqidah atau keyakinan kita kepada Allah swt dan Rasulullah saw. Sekiranya cacat aqidah ini maka cacatlah iman kita apabila kembali kepada Allah swt kelak. Jika sempurna aqidah ini, sempurnalah iman kita di dunia dan di akhirat.

SIRAH BERHUBUNG DENGAN KASIH RASULULLAH SAW
Satu ketika, Rasulullah saw meminta supaya seorang sahabatnya yang menjadi tukang kayu menyediakan sebuah mimbar baru. Mimbar lama dibuat daripada batang kurma yang dikerat. Ketika Nabi saw hendak berucap atau berkhutbah Baginda akan berdiri di atas batang kurma tersebut.

Setelah siap mimbar baru, lalu dibawalah kepada Nabi Muhammad saw. Sebelum sempat Nabi memijak mimbar yang baru, Nabi saw telah terdengar mimbar lama menangis. Lalu Nabi saw meletakkan tangannya yang mulia itu ke atas mimbar lama itu, barulah mimbar lama itu berhenti menangis. Seolah-olah mimbar lama dapat merasakan khidmatnya tidak diperlukan lagi kerana telah ada pengganti mimbar yang baru. Sebab itulah disebutkan di dalam Al-Quran, maksudnya :

Tidak Kami utuskan engkau, wahai Muhammad kecuali sebagai pembawa Rahmat ke seluruh alam.

Hatta kayu yang mati pun dapat merasai rahmat dengan kedatangan dan risalah yang di bawa oleh Nabi Muhammad Rasulullah saw.

Satu ketika Nabi saw berdoa supaya Allah swt memperbanyakkan makanan untuk memberi makan kepada 80 orang sahabatnya kerana biji-bijian yang ada untuk dibuat makanan hanyalah sekadar dua cupak sahaja. Doa itu dimakbulkan oleh Allah swt, lalu sahabat-sahabat mendapat makanan secukupnya.
Rasulullah saw berada bersama-sama sahabat pada hari Hudaibiyah iaitu hari orang-orang Islam ditahan daripada memasuki Makkah untuk melakukan Umrah. Oleh itu sahabat-sahabat berhenti di Hudaibiyah kerana dahaga. Selepas diberitahu bekalan air sudah kehabisan, Nabi meminta supaya dibawa sebuah bekas kepadanya. Nabi meletakkan tangannya dalam bekas itu. Kemudian air pun keluar daripada celah-celah jari Nabi seperti mata air. Lalu sahabat-sahabat pun minum dan berwudhu dengan air daripada tangan Rasul saw. Bilangan mereka kira-kira 1,500 orang.

Untuk mengasihi Nabi saw kita perlu mengenalinya terlebih dahulu. Antaranya ialah:
:-Siapakah Rasulullah saw?
:-Keturunan atau nasabnya
:-Sifat-sifat Baginda
:-Mujizatnya
:-Beriman dengan Nabi Saw
:-Hukum mengikut Nabi saw
:-Perintah dan tegahan Nabi Muhammad Saw
:-Ke manakah Rasulullah saw memimpin kita?
:-Hukum mengasihi dan mentaatinya.
:-Kita mengetahui bahawa Nabi adalah orang Arab Quraisy, bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutalib bin Hashim sampai nasabnya kepada Nabi Ismail AS iaitu putra Saidina Ibrahim AS. Bonda Nabi Muhammad bernama Aminah bt Wahab.

SIFAT NABI MUHAMMAD SAW
Nabi Muhammad saw merupakan makhluk Allah swt yang paling sempurna sifatnya dan paling utama dari segi kecerdikan. Beliau adalah pilihan Allah swt daripada jutaan manusia yang dijemput datang ke dunia ini. Baginda adalah Rasul yang terakhir. Bagindalah antara makhluk Allah swt yang dianugerahkan beberapa keistimewaan dari segi kecerdikan serta sifat-sifat wajib bagi Nabi iaitu jujur, siddiq, amanah dan tabligh. Selain itu Rasulullah SAW juga memiliki mukjizat serta dibekalkan dengan wahyu Ilahi. Jika hendak dibezakan Nabi dengan manusia di dunia ini jauhnya bagai langit dan bumi. Oleh itu apa yang ditentukan oleh Rasulullah saw, jika bercanggah dengan ketentuan manusia, yang bercanggah itu akan gugur.

Dengan memiliki perkara-perkara di atas, akan timbul rasa kasih kepada Nabi, yang mana ini akan menyekatkan kita daripada tenggelam dalam lautan hawa nafsu, serta jauh daripada gangguan-gangguan syaitan. Surah AlAnAm ayat 153 bermaksud :
Inilah satu-satunya jalanku yang lurus (iaitu Islam) maka hendaklah kamu mengikutinya. Jangan mengikuti jalan-jalan lain, nescaya kamu akan berpecah daripada jalan Allah. Yang demikian itu telah diwasiatkan oleh Allah kepada kamu supaya kamu bertaqwa

Ini pesanan Allah swt kepada kita. Sahabat-sahabat dahulu, mereka menjadi sebaik-baik umat adalah kerana besarnya kasih mereka kepada Rasulullah saw. Mereka intizam dengan syarak, mereka merasa hidup senang susah bersama-sama Rasulullah saw. Kehidupan mereka semua sekali mengikut contoh Rasulullah saw. Oleh itu kita juga boleh mendapat kasih yang sebegitu sekiranya kita lihat contoh para sahabat, bagaimana mereka hidup bersama-sama Rasullullah saw. Bagaimana mereka melaksanakan kerja-kerja dakwah. Sebab itu hanya beberapa orang sahabat-sahabat Nabi (lelaki) - dikebumikan di Madinatul Munawarah, yang lain-lain di serata tempat di dunia.


posted at 9/15/2006 03:12:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


Mursyid dan Tarikah

Allah Swt. berfirman:Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid (Al-Quran).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Quran dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf boleh ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.Pandangan demikian hanya layak secara teori belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, hampir boleh dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti sejarah akan kegagalan spiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.

Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Syarani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap memerlukan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah dunia ilmu, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dikecap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan marifat itu sendiri.Jalan marifat itu tidak boleh begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin.

Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya boleh dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisik sufism, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap memerlukan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Quran di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa keperluan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang boleh diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai kesempurnaan marifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus boleh memberikan bimbingan jalan kesempurnaan bagi para pengikut thariqatnya.Tentu saja, untuk mencari model manusia sempurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau tahapnya bukan lagi dengan menggunakan tahap rasional-intelektual, atau tahap-tahap empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedia misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logik-logiknya, hanya boleh dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati umum, tetapi hakikatnya tidak memiliki tahap sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam thaat ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Quran disebutkan:Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hiraki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin Ayyad, ditegaskan, dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya Syekh Abul Hasan asy Syadzily ra,bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak minimal ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.

2. Memiliki pengetahuan yang benar.

3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.

4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.

5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.

2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.

3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.

4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.

5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan ra menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.

2. Mempermainkan thaat kepada Allah.

3. Tamak terhadap sesama makhuk.

4. Kontra terhadap Ahlullah

5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy Syadzili mengatakan, Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.

Ibnu Athaillah As Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah.Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya.

Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.

2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.

3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.

4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.

5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara dan istiqamah.Perwujudan atas Ittiba sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qanaah dan pasrah total.

Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada Nya ketika mendapatkan bencana.Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,

2) Menjaga kehormatan,

3) Bakti yang baik,

4) Melaksanakan prinsip utama; dan

5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi tahap di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.Rasulullah saw. adalah teladan paling sempurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra dan Miraj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat
progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya.
Syekh Abdul Wahhab asy-Syarani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Marifati Qawaidus Shufiyah.


posted at 9/15/2006 02:52:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


Wasilah

Allah menjadikan perantara bagi hamba-hambaNya agar amal dan doa mereka mampu sampai kepadaNya. Demikian pula bagi hamba-hambaNya yang ingin mendekatkan diri kepadaNya.
Dalam al-Quran dijelaskan,

Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah ) yang mendekatkan diri kepadaNya. ( QS 5 : 35 )

Dan sebagian dari mereka Kami jadikan pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang memberi petunjuk kepada manusia dengan perintah kami karena mereka bersabar dan yakin terhadap ayat-ayat Kami. (QS 32 : 24 )

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah mengumpulkan sekelompok sahabat tertentu secara diam-diam di sebuah rumah. Dia kemudian berbicara tentang zikir utama Islam, Laa ilaaha illallaah, seraya memerintahkan mereka untuk mengulanginya dengan suara yang keras. Ketika ini selesai dilakukan sebanyak tiga kali, beliau mengangkat tangannya, seraya berkata, Ya Allah, apakah Engkau meridhoi? Tak lama kemudian beliau berkata kepada para sahabat, Berbahagialah karena Allah memberikan rahmatNya kepada kamu sekalian.
Suatu ketika Ali memohon kepada Nabi untuk ditunjuki jalan terdekat dan paling mudah kepada Allah. Nabi memerintahkannya untuk berzikir kepada Allah dalam bersendirian. Ali bertanya, Bagaimana caranya berzikir? Nabi bersabda, Pejamkan matamu dan dengarkan ucapanku Laa ilaaha illallaah. Ali mendengar Nabi yang mengulangi zikir itu sebanyak tiga kali; kemudian Nabi yang mendengarkan Ali mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Nabi, para Imam dan para Wali, tidak sekedar menjadi wasilah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia agar mampu sampai kepada Allah lewat pendekatan diri kepadaNya, lebih dari itu mereka mampu melihat keadaan jiwa dan kadar spiritual seseorang dan dari situ memberikan respon yang tepat atau sesuai dengan keadaan masing-masing orang. Sebab setiap orang akan berbuat atau akan mengerahkan kemampuannya secara maksimal berdasarkan keadaannya atau kadar kemampuannya masing-masing.
Katakanlah, Setiap orang berbuat menurut keadaannya (syaakilatihii ), maka Tuhan kamu lebih mengetahui siap-siapa yang lebih benar jalannya. ( QS 17 : 84 )

Dari Shafiyah, ia berkata, Rasulullah saw. pernah masuk ke rumahku sedang waktu itu di tanganku ada 4.000 biji-bijian yang kupergunakan untuk bertasbih, lalu ia bertanya, Engkau bertasbih dengan ini? Maukah engkau kuajar dengan yang lebih banyak dari tasbihmu itu? Katakanlah, Subhaanallaahi adaada khlaqihi ( mahasuci Allah sebanyak mahlukNya ). ( HR. Turmidzi/Terj. Nailul Authar 1058)

Diriwayatkan dari Utsman bin Affan, ia berkata, Aku pernah sakit, lalu Rasulullah saw. melawat aku dan mendoakan aku, yang dalam doanya itu ia berkata, Bismillaahirrahmaanirrahiim, uiidzuka billaahil ahadish shamad alladzii lam yalid walam yuulad walam yakun lahuu kufuan ahad min syarri tajid. Kata Utsman, Ketika Rasulullah sudah berdiri akan meninggalkan aku, ia bersabda, Hai Utsman! Bertaawudlah dengan doa tersebut, karena kamu tidak bertaawud seperti itu. ( R. Ibnu Sunni/Adzkar Nawawi, hal : 125 )

Dalam beberapa riwayat di atas dapat diambil suatu petunjuk bahwa apa yang diberikan Rasulullah untuk diamalkan, disesuaikan dengan keadaan seseorang dan manfaatnya, meskipun sebelumnya para sahabat telah mengamalkan zikir atau doa berdasarkan cara dan pilihannya sendiri. Kunci dari petunjuk ini adalah bahwa di dalam seseorang mengamalkan sesuatu atau berbuat sesuatu ( thariqat ), tidaklah hanya berpijak kepada syariat saja, tetapi harus sampai kepada haqiqat. Rasulullah mengatakan, Syariat adalah ucapanku, thariqat adalah perbuatanku, dan haqiqat adalah keadaanku.

Seseorang yang belum mampu sampai kepada haqiqat dapat dikatakan sebagai orang-orang yang masih dalam keadaan lalai (QS 16 : 108). Yaitu orang-orang yang masih tertutup hati, pendengaran dan pandangan mereka. Meskipun segala sesuatu atau segala informasi telah sampai kepada mereka; didengar, dilihat dan dirasakan atau dibenarkan oleh hati mereka, tetapi belum cukup untuk menghantarkan mereka untuk memahami haqiqatnya, dengan demikian keadaan merekapun belum sampai sebagaimana yang dikatakan Rasulullah, haqiqat adalah keadaanku. Seseorang yang menenggelamkan dirinya dalam upaya ketaatan dan berzikir kepada Allah atas keimanannya kepada Allah, tidak akan sampai pada derajat ridho dan diridhoi Allah selama dihatinya masih menyimpan kesombongan sekecil apapun. Iblis adalah contoh paling jelas dalam hal ini.

Para Nabi, Imam, dan Wali, adalah mereka yang telah mencapai keadaan haqiqat. Mereka telah mengenal Allah lewat penyaksian hati (kasyf ). Dan mereka tahu betul jalan untuk dapat sampai kepada Allah, dan juga mengerti betul penghalang serta tipu daya setan yang dapat menggagalkan perjalanan untuk sampai kepada Allah. Itulah mengapa mereka mengemban tugas sebagai pemberi petunjuk atau pembimbing manusia kepada jalan keselamatan. Dan manusia dalam keadaannya yang lalai, meraba dalam kegelapan, dan rentan terhadap tipu daya setan, pasti memerlukan pembimbing untuk menghantarkan mereka menuju haqiqat. Tanpa seorang pembimbing, manusia terperdaya oleh setan yang mengepungnya dari segala penjuru. Karena memang pekerjaan setan adalah menyesatkan umat manusia. Dan sudah menjadi kehendak Allah bahwa manusia harus berupaya mencari jalan (wasilah) agar dapat dekat kepada Allah.

Nabi mengatakan, Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Nabi Muhammad saw. adalah manusia sempurna yang telah mencapai keadaan haqiqat. Beliau mengibaratkan dirinya sebagai kota ilmu dan bagi umat manusia yang ingin menuju dan masuk ke dalam kota ilmu tersebut dan ini berarti ingin sampai kepada keadaan haqiqat dan membebaskan diri dari kelalaiannya- tidak bisa tidak, harus masuk melalui pintu masuk kota tersebut, dan dialah Ali bin Abi Thalib.

Sepeninggal Nabi, yang mewariskan Kitab yang dibawanya, ucapan dan sunahnya, yang menghantarkan kaum muslimin kepada keselamatan dan ridho Allah, umat manusia harus mencari jalan selapis demi selapis, rangkaian pintu demi pintu yang terhubung ke pintu masuk kota ilmu tersebut. Pintu masuk tersebut adalah perwujudan nyata perintah Ilahi dalam sosok seseorang yang telah sampai kepada keadaan haqiqat pula, karena dialah sang pemberi petunjuk atau pembimbing sebagaimana yang diisyaratkan di dalam al-Quran. Dan inilah hakikat dari kalam Ilahi, Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah ) yang mendekatkan diri kepadaNya


posted at 9/15/2006 02:44:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink

September 11, 2006
Ihsan


Ihsan

Ihsan berarti baik atau berbuat baik. Menurut istilah, ihsan adalah keadaan seseorang dalam beribadat kepada Allah SWT seakan-akan dia melihat Allah dengan mata hatinya. Jika tidak bisa melihat-Nya, maka dia yakin bahwa sesungguhnya Allah SWT senantiasa melihat kepadanya. Dengan kata lain, ihsan berarti suasana hati dan perilaku seseorang untuk senantiasa merasa dekat dengan Allah, sehingga tindakannya, perilakunya, sesuai dengan aturan dan hukum Allah SWT.

Firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat Ihsan (kebaikan) (Q.S. An Nahl :90).

Ihsan yang benar dan tepat adalah seperti sabda Rasulullah SAW, "Apabila kamu menyembah (beribadat kepada Allah) seakan-akan engkau melihat- Nya, maka apabila kamu tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia Allah melihat kamu (H.R. Bukhari).

Ihsan menurut Hadis ini adalah hadirnya Allah dalam hati sanubari pada waktu beribadat kepada-Nya, sehingga dengan demikian ibadat itu bersambung dan sampai kepada-Nya ketika itu juga. Kehadiran ini tidak mungkin tercapai kecuali terpenuhi dua syarat, yaitu :

(1) bersihnya hati nurani kita dari dosa dan noda, dan

(2) ikhlasnya ibadat kita hanya semata-mata kepada Allah. Kesucian dan keihlasan ini juga tidak mungkin tercapai, kecuali beribadat dengan metodologi tarikatullah yang maha tinggi. Oleh sebab itu kata beliau selanjutnya, kewajiban pertama seseorang setelah beriman adalah memasuki dan mengamalkan tarikatullah yang tinggi, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut beliau pendapat ini adalah pendapat sebagian besar para ulama berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasul. (Sulaiman Zuhdi 1288 H : 7 - 8).

Ihsan dijadikan sebagai motto oleh para sufi dalam menempuh kehidupan tasawufnya. Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui akidah (keimanan), pengamalan syariat Islam, dan akhlak. Akhlak inilah yang menjadi prinsip utama Ihsan. Seorang sufi setelah melalui makam-makam seperti tobat, zuhud, fakir, sabar, tawakal, ridla, mahabah, dan makrifat, dapat melihat Tuhan dengan mata hati (sirr) yang terdapat dalam roh atau kalbu. Karena itu untuk memperoleh Ihsan, sebagaimana digambarkan dalam Hadis Rasulullah SAW, diperlukan usaha yang berat lagi tidak mudah. Namun pada dasarnya manusia dengan roh, kalbu atau sirr-nya dapat dekat sekali dengan Tuhan, karena Tuhan Yang Maha Suci hanya bisa didekati oleh roh, kalbu atau sirr yang suci.

Abdul Karim al-Jili (tokoh tasawuf) memasukkan ihsan sebagai salah satu station (makam) yang harus dilalui oleh calon sufi dalam mencapai derajat insan kamil(manusia yang sempurna). Setelah sampai pada derajat tersebut, calon sufi menempuh taraqi (jalan naik) untuk memperoleh nur Muhammad dengan melalui tiga tahap yaitu bidayah(permulaan), tawassut (pertengahan), dan khitam(terakhir). (Ensiklopedi Islam 1994, 2 : 179).

Masalah ihsan ini telah dijelaskan pula pada Bagian Tiga Pilar Utama Agama Islam. Ihsan itu artinya kita beribadat kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah berada di hadapan kita, atau kita merasakan dan mengi'tikadkan bahwa Allah selalu melihat dan memperhatikan kita. Ihsan sebagai salah satu pilar agama Islam, sasarannya adalah batin ruhaniyah. Batin ruhaniah seseorang yang beribadat harus bersih agar dapat membuahkan ubudiah yang ikhlas dan akhlak yang mulia. Ilmu yang membahas tentang itu adalah Ilmu Tasawuf dan tarikat.Termasuk dalam kajian tasawuf adalah segala usaha dan ikhtiar untuk berakhlakul karimah, beribadat yang khusuk, dengan cara mujahadah terus menerus dengan cara atau metode tertentu, sehingga diri rohani kita menjadi besih, dapat dekat kepada Allah SWT, guna memperoleh ridla dan Nur Uluhiyah-Nya.Dengan demikian ihsan itu merupakan suatu maqam, di mana seseorang melaksanakan syariat yang dijiwai dengan hakikat syariat itu sendiri, sehingga dia memperoleh ma'rifah terhadap Allah SWT. Pada bagian lain, pakar tasawuf mengatakan ihsan itu adalah ajaran muraqabah, tahalli dan tajalli.Ada 11 (sebelas) tempat Allah menyebutkan kata ihsan dalam Al Qur'an dengan berbagai konteks dan 40 (empat puluh) tempat menggunakan kata itu sebagai pelaku Ihsan, yaitu muhsin.Firman Allah SWT dalam surat An Nahl 16 : 90:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan.

Hadis Jibril riwayat Bukhari Muslim tersebut di atas tadi, bahwa pelaksanaan Ihsan wajib hadir Allah SWT secara maknawi pada waktu kita melaksanakan ibadat. Hadirnya Allah dalam hati sanubari pada waktu seseorang beribadat tidak mungkin, kecuali terpenuhi 2 (dua) syarat, yaitu, sucinya hati nurani dan ikhlasnya seseorang yang beribadat itu. Suci dan ikhlas itu tidak mungkin dicapai, kecuali melalui metode atau cara tertentu, yaitu tasawuf dengan metode tarikat yang agung. Oleh sebab itu menurut sebagian besar pendapat ulama, bahwa bertarikat merupakan kewajiban pertama setelah seseorang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa hadis sahih, termasuk beberapa hadis Qudsi yang dijelaskan panjang lebar dalam risalah beliau. (Sulaiman Zuhdi : 7 - 8).

Ihsan yang pelaksanaannya melalui tasawuf dan metode tarikatullah dijadikan sebagai moto utama oleh para sufi. Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah melalui akidah (keimanan), pengamalan syariat Islam, dan akhlak. Abdul Karim al-Jili tokoh sufi memasukkan Ihsan sebagai salah satu ahwal atau maqam yang harus dilalui oleh sufi untuk mencapai derajat insan kamil.Dalam buku-buku tasawuf disebutkan bahwa tasawuf itu adalah ilmu batin, ilmu rohani yang berpusat pada hati nurani. Ilmu Fikih adalah ilmu zahir, ilmu yang membahas tentang masalah syariat dan rukun ibadat, sah dan batalnya ibadat, masalah kemasyarakatan dan lain-lain yang dikelola oleh akal, yang berpusat pada otak. Sering juga dikatakan bahwa Ilmu Tasawuf itu Ilmu Hakikat, sedangkan Ilmu Fikih itu dinamakan Ilmu Syariat. Melaksanakan suatu ibadat yang berbentuk syariat yang dijiwai dengan hakikat, itulah ibadat yang dapat menimbulkan ibadat yang ikhlas dan khusuk, sebab bersatu padanya syariat dan hakikat, dan bersatu pula padanya olahan otak dan hati.

Ketiga pilar tersebut tidak boleh dilaksanakan sendiri-sendiri, tapi harus dilaksanakan terpadu secara utuh dan bulat, sebab ketiga pilar itulah yang membuat menyatu menjadi agama Islam. Dengan penjelasan ini, jelas bahwa tasawuf itu adalah bagian dari agama Islam, tidak di luar Islam, bukan pula bid'ah, syirik dan sebagainya.Setelah Rukun Iman dan Rukun Islam itu terlaksana dengan baik, maka dia dilengkapi dan disempurnakan dengan amal-amal kebaikan yang lahiriah, yang kita namakan Ihsan. Ihsan di sini dalam artian lahiriah melaksanakan amal-amal sunnah, seperti shalat-shalat sunat, puasa sunat, infaq, sadakah sunat, saling membantu dan berbuat kebaikan sesama umat. Ihsan dalam bentuk lahiriah ini, manakala dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniah batin, akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan takwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadat kita.Adapun hubungan antara iman dan Islam itu laksana hubungan akar dengan batang pada suatu pohon. Pohon tidak akan berbuah kalau tidak ada akar, pohon tidak akan tumbuh kalau tidak ada akar. Adanya akar yang kuat dengan pohon yang subur itulah yang mendatangkan buah. Apa artinya Rukun Iman, tanpa pelaksanaan Rukun Islam. Apa artinya pelaksanaan Rukun Islam, tanpa dilandasi Rukun Iman. Kedua-duanya tidak akan menghasilkan buah. Dengan jelas dan gamblang Allah SWT mengisyaratkan hubungan keduanya ini dalam firman-Nya Q.S. Ibrahim 14 : 24-25,
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. (Q.S. Ibrahim 14 : 24-25).
Dalam kajian tasawuf yang menghubungkan Rukun Iman dengan Rukun Islam adalah Ihsan. Pelaksanaan rukun Islam harus dengan Ihsan yaitu dirasakan hadirnya Allah SWT pada waktu beribadat sehingga ibadat tersebut menjadi khusuk. Ibadat dengan Ihsan itu akan berbekas dan berbuah. Demikian pulalah yang menghubungkan akar dengan batang dan sebaliknya, batang dengan akar dalam suatu pohon. Serapan dari akar didistribusikan kepada batang. Sebaliknya, serapan batang yang terdiri dari dahan, ranting dan daun akan didistribusikan pula kepada akar. Pohon tidak akan tumbuh dan subur tanpa adanya serapan itu.

Prof.Dr.H.S.S. Kadirun Yahya menyampaikan, bahwa kita jangan hanya pandai bercerita tentang Maqam Ihsan, di mana memang benar, pada maqam ihsan itu, tidak ada doa yang ditolak Allah SWT. Yang paling utama adalah, bagaimana cara menguasai pelaksanaan teknisnya, agar sampai mencapai maqam ihsan itu, di mana Allah SWT tidak akan menolak tiap-tiap doa dari hambaNya yang khalis mukhlisin, yang dikasihi, yang di dalam dadanya bersinar Nuurun ala Nurin, barulah Allah SWT tergugah dan menurunkan Rahmat dan kurniaNya.

Kita harus paham bahwa Maqam Ihsan adalah pada sisi Allah SWT di tempat yang jauh letaknya, di Arasy yang tak terhingga jauhnya, mau tak mau harus ada yang membawa rohani kita ke situ yang mempunyai kapasitas yang tak terhingga pula, itulah dia Nuurun ala Nurin yang semestinya kita warisi dari Ruhani Rasulullah SWT.

Semua itu termaktub dalam bidang Tasauf dan Sufi, yang hanya dapat diuraikan dengan hukum-hukum teknologi modern, berdampingan dengan Al Qur'an dan Al Hadits.


posted at 9/11/2006 11:45:00 AM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


Bab Pertama: Sekilas Tasauf


SEKILAS TASAUF

Untuk mendapatkan gambaran awal, di sini akan disajikan penjelasan tentang Tasauf Islam yang dikaitkan dengan ajaran Islam, Syariat, Hakikat dan Marifat, dengan mengutip dalil- dalil yang berlandaskan Al Qur'an, Al Hadith dan Ijma Ulama.

Selain itu, secara sepintas dikemukakan pula pandangan para ulama terhadap ajaran Tasauf Islam, dari berbagai ahli mahzab syariat yang telah dikenal sangat baik di seluruh dunia Islam, di antaranya yaitu Imam Ja'far Ash Shadiq, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam Ghozali, dan termasuk seorang tokoh pada aliran Mu'tazilah, yang dikenal sangat rasional, yaitu Ibnu Taimiyah, yang pada awalnya menghujat Tasauf, namun akhirnya mengakui kebenaran ajaran tersebut, dan kemudian tunduk untuk mempelajari dan memuliakannya. Diharapkan informasi ini dapat membuka tali simpul yang membelenggu pikiran dan sikap sebagian orang yang masih awam atau belum mengetahui ajaran Tasauf.

Bersambung Bab Kedua:Kesaksian Ulama


posted at 9/11/2006 11:40:00 AM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


Bab Ke Dua: Kesaksian Ulama


KESAKSIAN ULAMA

Imam ABU HANIFA (81-150 H./700-767 M)
Imam Abu Hanifa (r) berkata, "Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja'far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar".

Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn 'Abideen said, "Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma'ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta'i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi." Imam Hanifa berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu'man, "Jika tidak karena dua tahun, Nu'man (saya) telah celaka." Itulah dua tahun bersama Ja'far as-Sadiq

Imam MALIK (94-179 H./716-795 M)
Imam Malik (r): "man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran)." (dalam buku 'Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195

Imam SHAFI'I (150-205 H./767-820 M)
Imam Shafi'i: "Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
mereka mengajariku bagaimana berbicara mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut mereka membimbingku ke dalam jalan tasauf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]

Imam AHMAD BIN HAMBALI (164-241 H./780-855 M)
Imam Ahmad (r): "Ya walladee 'alayka bi-jallassati ha'ula'i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu 'alayna bikathuratil 'ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa 'uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, maka mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi," --Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)
Imam Ahmad (r) tentang Sufi:"Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" ( Ghiza al- Albab, vol. 1, p. 120)

Imam AL MUHASIBI (d. 243 H./857 M)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat" . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasauf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al- Wasiya p. 27-32.

Imam AL QUSHAYRI (d. 465 H./1072 M)
Imam al-Qushayri tentang Tasauf: "Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya ." [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]

Imam GHAZALI (450-505 H./1058-1111 M)
Imam Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasauf: "Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Imam NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M)
Dalam suratnya al-Maqasid: "Ciri jalan sufi ada 5:
menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20] Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: "Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku" ." [Ictiqadat Furaq al- Musliman, p. 72, 73]

IBNU KHALDUN (733-808 H./1332-1406 M)
Ibn Khaldun: "Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi'een, and Tabi' at-Tabi'een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia" [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]

TAJUDDIN AS SUBKI
Mu'eed an-Na'eem, p. 190, dalam tasauf: "Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah"
Dia berkata: "Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

JALALUDDIN AS SUYUTI
Dalam Ta'yad al-haqiqat al-'Aliyya, p. 57: "tasauf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid'ah"

IBNU TAYMIYYAH (661-728 H./1263-1328 M)
Majmaca Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: "Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi."
Juga dalam hal 499: "Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka' bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.
Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Macruf al-Karkhi, Hasan al- Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa'i, and Shaikh Bayazid al- Bistami. Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada 510, Volume 10: "...Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:" Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?". Dan Allah menjawab: "Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku". Ibn Taymiyyah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, " Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya".
Implikasi dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami.
Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul saas.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah tasauf Berikut adalah pendapat Ibn Tamiyyah tentang definisi Tasauf dari strained, Whether you are gold or gold-plated copper." Sanai.
Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from Volume 11, At- Tasawwuf, of Majmu'a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo:
"Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan)."
"Tasauf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasauf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan ego untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)" Dia melanjutkan mengenai Sufi,"mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal)."

Imam IBN QAYYIM (d. 751 H./1350 M)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, "Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasauf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh by Sufyan ath-Thawri (d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata: "Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya') dalam diri (Manazil as-Sa'ireen)
Lanjut Ibn Qayyim:"Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh"
'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Abdul Wahhab (1115-1201 H./1703-1787 CE)
Dari Mu ammad Man ar Nu'mani's book (p. 85), Ad- ia'at al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn c'Abdul Wahhab: "Shaikh 'Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn 'Abdul Wahhab, mengatakan mengenai Tasawwuf: 'Anakku dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik ilmu tasauf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena ia menyucikan baik lahir maupun batin dari dosa tersembunyi yang berhubungan dengan hati dan bentuk batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar, secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya tasauf diperlukan."
Dalam volume 5 dari Muhammad ibn 'Abdul Wahhab entitled ar-Rasa'il ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal. 12, 61, and 64 dia menyatakan: "Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn 'Arabi atau Ibn al-Fari karena interpretasi sufinya"

IBNU 'ABIDIN
Ulama besar, Ibn 'Abidin dalam Rasa'il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: " Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka". [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].
Shaikh Rashad Rida
Dia berkata,"tasauf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi" [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].
Maulana Abul Hasan 'Ali an-Nadwi
Maulana Abul Hasan 'Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, "Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma'siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah"
"Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasauf"
"Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuhan mereka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam"

ABU 'ALA AL MAUDUDI
Dalam Mabadi' al-Islam (p. 17), "Tasauf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul"
"Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya."
Ringkasnya, tasauf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendiri, dan dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.

Bersambung Bab Ke Tiga:Tasauf Dalam Islam


posted at 9/11/2006 11:38:00 AM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


Bab Ke Tiga: Tasauf dalam Islam


TASAUF DALAM ISLAM

Tiga Pilar Utama Agama Islam Alkisah dalam sebuah hadis Bukhari Muslim diriwayatkan bahwa agama Islam itu meliputi tiga pilar utama, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan. Sabda Rasulullah SAW,Dari Saidina Umar bin Khathab r.a., beliau berkata,"Pada suatu hari ketika kami bersama-sama Rasulullah SAW, datang seorang laki-laki berpakaian putih dan rambut hitam, tetapi tidak nampak tanda-tanda bahwa dia orang musafir dan kami tidak seorang pun yang kenal dengan orang itu.Dia duduk berhadapan dengan Nabi dengan mengadu lututnya dengan lutut Nabi dan meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu dia bertanya, "Wahai Muhammad, coba ceritakan kepadaku tentang Islam. Nabi menjawab, "Islam ialah engkau akui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, engkau kerjakan Shalat, engkau kerjakan Zakat, engkau lakukan Puasa bulan Ramadhan, engkau naik Haji kalau kuasa".Laki-laki itu menjawab, "Benar"."Kami heran", kata Umar bin Khathab. Dia bertanya dan dia pula yang membenarkan.Lalu dia bertanya lagi, "Coba ceritakan tentang Iman !"Nabi menjawab, "Iman ialah supaya engkau percaya kepada Allah, malaikatNya, RasulNya, hari akhirat dan percaya dengan takdir baik dan buruk lainnya.Dia menjawab, "Benar !"Dia bertanya lagi, "Apa itu Ihsan ?"Nabi menjawab, "Bahwa engkau menyembah Tuhan seolah-olah engkau melihatNya, tetapi kalau engkau tidak dapat melihatNya maka dia melihat akan engkau."Dia bertanya lagi, "Bilakah hari kiamat ?"Nabi menjawab, "Yang bertanya lebih tahu dari yang ditanya."Dia bertanya lagi, "Coba ceritakan tanda-tandanya ! Kalau sudah melahirkan budak akan penghulunya dan kalau sudah bermegah-megah dengan rumah-rumah tinggi si penggembala kambing yang miskin."Kemudian laki-laki itu berjalan, kata Saidina Umar.Tidak lama kemudian Nabi bertanya kepada kami, "Hai Umar, tahukah engkau orang yang bertanya itu ?"Jawab saya, "Tuhan Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu."Nabi menjelaskan, "Itulah Malaikat Jibril, dia datang untuk mengajarkan agamamu."
(H.R. Imam Bukhari dan Muslim, - Syarah Muslim I hal. 157 - 160 ).

Bersambung Bab Ke Empat:Tasauf dan Syariat


posted at 9/11/2006 11:36:00 AM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


Bab Ke Empat: Tasauf dan Syariat


TASAUF DAN SYARIAT

Dalam kajian tasawuf banyak dibicarakan tentang syariat, tarikat, hakikat dan makrifat dalam rangka pembahasan ajaran dan amal Islam secara keseluruhan. Oleh sebab itu dalam di sini perlu dibicarakan hubungan tasawuf dengan keempat masalah tersebut. Mengenai pengertian tasawuf telah dijelaskan tersendiri, sehingga dalam di siini tidak dijelaskan lagi, tetapi diuraikan menurut hubungannya yang ditinjau dari segi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.

1. Pengertian Semula pengertian syariat adalah jalan menuju ke sumber air atau jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut etimologi, syariat adalah tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia dan binatang guna meminum air. Menurut istilah syara', syariat merupakan nas-nas yang suci yang dikandung di dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dengan kata lain, syariat adalah segala yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang berbentuk wahyu, yang terdapat dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Syariat dalam artian ini meliputi seluruh aspek Agama Islam atau Dienul Islam, dunia akhirat yang termaktub di dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Syariat dalam artian ini meliputi tiga pilar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.

Firman Allah SWT,Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (Q.S. Al Maidah 5 : 48).

Firman Allah SWT :
Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S. Al Jatsiah 45 : 18).

Yang menetapkan syariat dalam arti ini dinamakan syaari' yaitu Allah dan Rasul-Nya. Syariat dalam arti ini berbeda dengan syariat yang banyak dipahami dewasa ini, yaitu yang sama pengertiannya dalam arti sempit dengan pengertian fikih. Fikih bukanlah merupakan nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah, tapi sudah merupakan hasil rekayasa nalar manusia.

Imam As Syafi'i mendefinisikan fikih adalah suatu ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah yang diperoleh dari satu persatu dalilnya. Dengan demikian, fikih adalah apa yang dapat dipahami manusia dari teks-teks suci Al Qur'an dan As Sunnah dengan melakukan ijtihad untuk menangkap makna-makna, 'illat-'illat (sebab-sebab) serta tujuan yang hendak dicapai oleh teks suci tersebut. (Ensiklopedi Islam 4, 1994 : 345 - 346).Asy Syaikhul Mahmud Syaltut memberikan batasan tentang syariat dalam arti sempit,

Artinya : Menurut istilah, syariat ialah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syariatkan buat hamba-Nya untuk diikuti, dan hubungan mereka sesama manusia. Di sini kami maksudkan makna istilah, maka kata syariat itu tertuju kepada hukum yang didatangkan Al Qur'an dan Rasul-Nya. Kemudian diijmakkan oleh para sahabat dari hukum-hukum yang tidak datang mengenai urusan itu sesuatu pun dari nas Al Qur'an dan As Sunnah. Kemudian pula hukum-hukum yang diistimbatkan dengan jalan ijtihad. Dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantaraan qias, qarinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.

Prof.Dr.Salam Mazkur memberikan definisi,
Artinya : Fikih adalah segala hukum-hukum keagamaan, baik yang berhubungan dengan hukum 'aqaid ataupun dengan hukum amaliah. Kata beliau selanjutnya, maka hal ini menyebabkan dibatasi kalimat fikih untuk sekelompok hukum yang bersifat amaliah, syariat yang lalu dipetik atau diistimbathkan dari dalil yang jelas sebagaimana dipergunakan kalimat fikih untuk nama-nama hukum tersendiri. (Hasbi Ash Shiddieqy 1975 : 31 - 34).

Syekh Amin Al Kurdi memberikan batasan syariat,
Artinya : Syariat adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah SAW yang dipahami dan diijtihadkan oleh para ulama dari Al Kitab, As Sunnah, baik berbentuk nash atau istimbath. Hukum- hukum itu meliputi Ilmu Tauhid, Ilmu Fikih dan Ilmu Tasawuf (Syekh Amin Al Kurdi 1994 : 364).

Sunnatullah berarti ketentuan atau tata hukum Allah dalam mengatur alam semesta ini. Padanya ada hubungan sebab akibat, ada amal ada hasil, dan seterusnya. Termasuk ke dalam syariat, bagaimana mengatur manusia dalam hubungannya dengan Allah dan bagaimana mengatur manusia sebagai makhluk sosial, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam.Agar terwujud keteraturan, keselarasan, keserasian dan keseimbangan, perlu juga di atur dalam suatu aturan yang dinamakan syariah. Syariat itu adalah aturan dari Allah, sedangkan yang memberi peraturan namanya syaari' yaitu Allah SWT sendiri.

Pembahasan mengenai materi hukum dengan manusia sebagai objeknya, mencakup semua disiplin ilmu, seperti Ilmu Fikih, Ilmu Tauhid, Ilmu Akhlak dan lain sebagainya. Dalam ajaran Islam melaksanakan aturan dan ketentuan hukum tanpa memahami dan menghayati apa tujuan hukum itu, maka pelaksanaannya tidak akan menemui sasarannya dan tidak akan memiliki nilai yang sempurna. Tujuan hukum itu adalah kebenaran yang datang dari Allah SWT, yang dalam istilah tasawuf dinamakan hakikat yang merupakan inti dari hukum itu sendiri. Karena itu ada kaedah fikih yang berbunyi,Artinya : Hukum itu ditetapkan atau beredar menurut ilatnya.

Kalau ilatnya masih ada maka hukumnya ada, kalau ilatnya sudah hilang maka hukumnya akan hilang. Dengan kata lain, syariat itu lahirnya, hakikat itu batinnya.Untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri diperlukan adanya suatu jalan atau cara atau metode supaya kita tidak menyimpang dari tujuannya. Tanpa mengetahui jalannya akan sulit untuk sampai ke tujuan. Jalan atau cara atau metode tersebut dinamakan tarikat.

2. Hubungan Tasawuf Dengan Syariat:Tasawuf dalam arti sikap hati rohani yang takwa yang selalu ingin dekat kepada Allah SWT, dihubungkan dengan arti syariat dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia baik hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal' alam, mempunyai hubungan yang erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lain. Untuk mencapai kemaslahatan umat di dunia dan akhirat dalam artian hakiki harus sejalan, berurutan dengan tujuan tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yakin, makrifatullah yang tahqik. Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, tidak mungkin hanya dengan melaksanakan zikir atau zikrullah dalam arti khusus saja, tapi harus dilaksanakan sejalan, berurutan dengan melaksanakan syariat yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu seluruh aktiviti syariat harus digerakkan, didasarkan, dimotivasikan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas lillahi ta'ala yang bermuara mendapatkan ridha Allah dan berdampak memperoleh maslahah umat yang menjadi tujuan syariat. Manakala maslahah umat telah diperoleh, harus digerakkan dan diarahkan pula kepada memperkokoh dan mentahqikkan tauhid makrifatullah yang merupakan satu-satunya tujuan Allah menjadikan makhluk manusia.

Firman Allah SWT,
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku (Q.S. Adz Dzariyat 51-56).

Ibnu Abbas menafsirkan ila liya' buduuni dengan ila liya rifuuni dengan artinya: "Kecuali supaya mereka mengenal atau makrifah kepada-Ku".

Sabda Rasulullah SAW (dalam hadis Qudsi),
Artinya : Adalah AKU suatu perbendaharaan yang tersembunyi, maka AKU ingin supaya diketahui siapa Aku, maka AKU jadikanlah makhluk-Ku, maka dengan Allah mereka mengenal Aku.

Imam Malik mengatakan,
Artinya : Barangsiapa berfikih/bersyariat saja tanpa bertasawuf niscaya dia berkelakuan fasik (tidak bermoral) dan barang siapa yang bertasawuf tanpa berfikih/bersyariat, niscaya dia berkelakuan zindiq (menyelewengkan agama) dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya, maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki, tulen.

Imam Ali Ad-Daqqaq mengatakan,
Artinya : Perlu diketahui bahwa sesungguhnya syariat itu adalah hakikat. Bahwa sesungguhnya syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah SWT. Demikian juga hakikat adalah syariat untuk mengenal Allah (makrifat kepada Allah). Hakikat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. (Al Qusyayri : 412).

Secara teknologis Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menggambarkan hubungan antara tasawuf dan syariat itu sebagai berikut, tasawuf adalah jiwa yang memberi power kepada syariat, sedangkan syariat adalah saluran power itu. Syariat dilaksanakan oleh anggota zahir manusia yang mengadakan dan membuka hubungan dengan Allah SWT, sedangkan powernya melalui rohani batin yang datang langsung dari Allah SWT. Ibarat listrik, kabel adalah syariat-syariat lahirnya, sedangkan setrum adalah power melewati kabel yang bersumber dari sentral dynamo. Power itu adalah wasilah yang langsung dari Allah SWT melalui Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW terus bersambung, berantai melalui ahli silsilah, sejak dari Nabi Muhammad SAW, kemudian Abu Bakar Siddiq sampai dengan Syekh Mursyid terakhir. Para Ahli Silsilah atau Syekh Mursyid itu, bukanlah perantara, tapi wasilah carrier, hamilul wasilah, pembawa wasilah. Banyak lagi orang yang memberikan contoh- contoh ringan perumpamaan hubungan antara keduanya, antara lain ada yang mengibaratkan hubungan itu ibarat dua sisi mata uang, ibarat kapal dengan laut, ibarat kapal dengan mesinnya, ibarat peta dengan kompas bagi orang yang berlayar, dan sebagainya.

Orang sufi bukanlah manusia akhirat saja, tapi adalah manusia dunia juga. Karena itu dia harus memenuhi fitrah manusiawinya. Karena itu orang sufi juga berkiprah dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, terutama untuk menjaga lima daruriat untuk tercapainya tujuan syariat Islam, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Melaksanakan aktivitas untuk tercapainya tujuan syariat Islam ini, para sufi juga harus berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disamping berubudiyah guna mencapai makrifah.Untuk menghindari kekeliruan pemahaman tentang tasawuf, bahwa orang sufi itu aktivitinya hanya dalam artian khusus saja dan tidak beraktiviti dalam syariat muamalah, maka pada uraian berikut ini kami akan uraikan sebagian kecil saja dari aktiviti itu menurut pandangan tasawuf. Dalam uraian ini nanti lebih banyak mengacu kepada pemikiran-pemikiran hujjatul Islam Imam Al Ghazali yang tertuang dalam buku "Ihya Ulumuddin" dan "Al Munqiz Minadhalal" serta ulasan-ulasan Dr. Abdul Halim Mahmoud yang mengulas kedua buku tersebut.

3. Tasawuf Dan Ibadat: Seluruh umat Islam sepakat bahwa manusia tidak dapat dekat kepada
Allah dan berjalan di jalanan yang menuju kepada-Nya, kecuali hanya dengan ikhlas beribadat, mengabdi semata-mata lillahi ta'ala.

Firman Allah SWT :
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan agama lurus. (Q.S. Al Bayyinah 98 : 5).

Kalau manusia sudah mampu mengikhlaskan ubudiyah atau pengabdiannya hanya semata-mata untuk Allah, dan menjadikan dirinya benar-benar sebagai hamba-hamba Allah yang mukhlasin (yang diakui ikhlasnya), maka iblis pun tidak akan mampu menggoda dan menyesatkannya lagi. Orang-orang mukhlasin tingkat inilah, yang mampu menegakkan ibadat yang murni ikhlas dan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan.

Firman Allah SWT :
Artinya : Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (Q.S. Al Fatihah 1 : 5).

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi yang adil. (Q.S. Al Maidah 5 : 8).

Orang yang berkualitas mukhlasin begini ini tidak ada jalan bagi iblis dan syetan untuk menggoda dan menyesatkan mereka, karena Allah yang menjaganya.Firman Allah SWT,
Artinya : Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka, dan cukuplah Tuhanmu sebagai penjaga. (Q.S. Al Isra' 17 : 65).

Ketidaksanggupan untuk menggoda dan menyesatkan orang-orang mukhlasin ini diakui oleh iblis dan syetan.

Firman Allah SWT :
Artinya : Demi kekuasaanmu, Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Mu yang benar-benar ikhlas di antara mereka. (Q.S. Shaad 38 : 82 - 83).

Firman Allah SWT,
Artinya : Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Mu yang mukhlasin, yang benar ikhlas diantara mereka. (Q.S. Al Hijr 15 : 39 - 40).

Kembali kepada tujuan atau sasaran ajaran dan amal tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yakin, makrifatullah yang tahqik, yang menjadi kunci makbulnya adalah adab beribadat itu sendiri. Ibadat yang berbentuk syariah itu harus digerakkan oleh hati yang khusuk, tawaduk dan lillahi ta'ala. Situasi dan kondisi hati yang demikian ini, inilah yang dinamakan adab beribadat.

Tokoh sufi Al Jalajili mengatakan,
Artinya : Bahwa tauhid itu diwajibkan oleh Iman. Barang siapa yang tidak beriman, maka ia tidak bertauhid. Iman itu wajib, karena diwajibkan oleh syariat. Barang siapa yang tidak bersyariat, maka ia tidak beriman dan tidak bertauhid. Syariat itu wajib, karena diwajibkan oleh adab. Barang siapa yang tidak beradab, maka ia tidak bersyariat, tidak beriman dan tidak bertauhid. (Al Qusyayri : 403).

Sejalan dengan perkataan syekh Al Jalajili ini, para sufi mengatakan bahwa sesungguhnya seseorang hamba menjadi jauh dari Tuhannya, hanya karena dia tidak baik adabnya.Para mukhlasin yang sudah dapat mewujudkan ubudiyah, pengabdian semata-mata karena Allah, tingkat berikutnya Allah akan menganugerahkan ilmu makrifat, ilmu mengenal rahasia-rahasia ghaib yang dinamakan dengan Ilmu Ladunni seperti yang telah diberikan kepada Nabi Khidir a.s.

Firman Allah SWT,
Artinya : Lalu keduanya Musa dan Khidir bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S. Al Kahfi 18 :65).

Nabi Khidir a.s. benar-benar telah berhasil mewujudkan ubudiyah yang ikhlas sepenuhnya dan Allah melimpahkan Ilmu Ladunni dan Ilmu Makrifah sebagai buahnya. Demikian pula dengan Nabi Ayyub a.s sebagai buah ubudiyahnya yang penuh ikhlas, dapat sembuh dari penyakitnya dan kesehatannya pun pulih sepenuhnya setelah minum air yang sejuk yang memancar dari dalam tanah setelah hantaman kakinya. Kisah ini diabadikan dalam Firman Allah yang artinya, "Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya, "Sesungguhnya aku diganggu syetan dengan kepayahan dan siksaan".

(Allah berfirman), "Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu, dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar, dialah sebaik-baik hamba karena dia sesungguhnya amat taat (kepada Tuhannya) (Q.S. Shaad 38 : 41 - 44).

Demikian pulalah halnya dengan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW telah mencapai puncak tertinggi dari ubudiyahnya sebagaimana yang telah dikisahkan, diabadikan pengakuannya dalam firman Allah yang artinya, Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)."(Q.S. Al An'am 6 : 162 - 163).
Ibadat-ibadat para mukhlasin inilah yang diikuti, yang diteladani oleh para sufi dalam bidang syariah, baik yang zahir maupun yang batin.

4. Tasawuf Dan Ilmu: Pengetahuan Yang kami maksudkan hubungan tasawuf dengan ilmu pengetahuan agama, bukanlah kebenaran atau kekeliruan Ilmu Tasawuf itu sendiri, tetapi apakah benar atau keliru untuk makrifat kepada Allah melalui jalan tasawuf.Ada beberapa teori atau aliran menuju makrifat kepada Allah, antara lain :

-: aliran Al-Mutakallimin (ahli logika dan rasional),

-: aliran Al-Batiniah (mengikuti petunjuk imam yang maksum),

-: aliran Al-Falasifah (ahli filsafat, ahli logika dan ahli berhujjah, berdalil),

-: aliran As-Sufiyah (Al-Hawaasul Hadrat, ahli musyahadat dan mukasyafah).

Masing-masing golongan atau aliran itu mengatakan bahwa jalan golongan atau aliran merekalah yang benar.Untuk membahas masalah ini, kami mengemukakan pendapat, pemikiran, Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali. Kami mengikuti pendapat dan pemikiran Al-Ghazali, karena beliau telah memasuki, meneliti setiap aliran itu secara ilmiah dan secara amaliah dalam waktu bertahun-tahun yang cukup lama. Beliau meneliti dan mengarungi setiap aliran itu dalam waktu yang lama dan tidak mengenal lelah, sehingga beliau mengatakan,

"Semua kegelapan harus aku tembus, semua kerumitan harus aku hadapi dan aku senantiasa menyelidiki benar-benar setiap akidah dan setiap golongan, aku berusaha sekeras-kerasnya untuk mengungkapkan semua rahasia mazhab/golongan/aliran pada masing- masingnya, agar aku dapat membedakan mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang mengikuti sunnah dan mana pula yang bid'ah (tidak mengikuti sunnah).

Penegasan beliau selanjutnya dalam menjelaskan ketekunan beliau menyelidiki, membahas dan meneliti setiap golongan atau aliran itu sebagai berikut,

"Tidak aku tinggalkan seorang ahli kebatinan, kecuali telah aku ketahui tentang kebatinannya. Tidak aku tinggalkan seorangpun dari ahli zahir, kecuali setelah aku ketahui kezahirannya. Tidak seorang pun aku tinggalkan dari ahli filsafat, sebelum aku pahami maksud dari filsafatnya. Tidak seorang pun aku tinggalkan dari ahli teologi Ilmu Kalam, kecuali aku berusaha sekerasnya untuk mempelajari ilmu teologinya dan cara berdebatnya sampai sedalam-dalamnya. Tidak seorangpun aku tinggalkan dari ahli sufi, kecuali aku selidiki segala rahasia yang ada pada tasawufnya. Tidak seorang pun aku tinggalkan ahli ibadat, kecuali harus kucari hasil yang diperoleh dari ibadatnya itu. Tidak seorang pun aku tinggalkan dari ahli zindiq (seorang ahli agama yang kafir tapi pura-pura beriman), kecuali setelah aku selidiki dirinya agar aku waspada terhadap sebab-sebab penyelewengan dan kezindiqannya".

Imam Al-Ghazali sebagai seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, sebagai seorang teologi, sebagai seorang filosof dan sebagai seorang sufi yang masyhur dan konsekwen, menekuni ajaran dan mengamalkan kesufiannya itu adalah seorang manusia yang mempunyai bakat, mempunyai kelebihan, sebagai karunia Allah SWT. Ad-Diebury memberikan komentar tentang imam Al-Ghazali sebagai berikut,

Artinya : Sesungguhnya pemuda ini (imam Al-Ghazali) telah dianugerahi kecerdasan akal yang luar biasa dan kekuatan daya hayal yang tidak mau terikat dengan ikatan apapun yang akan membelenggunya.

Imam Al-Ghazali memiliki latar belakang pendidikan yang amat kuat, baik di kota Khurasan, di kota Jurjan maupun di kota Naisabur, membuat dia menjadi orang yang ahli dalam bahasa Arab dan Persia dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Kalam (teologi Islam), Fikih (hukum Islam), Tasawuf, Filsafat dan Akhlak.

Di kota Khurasan dan kota Jurjan, dia belajar dengan guru-guru yang merupakan pakar dalam bidang ilmunya. Di kota Naisabur dia memasuki madrasah Nizamiah yang dipimpin oleh ulama besar, imam Al-Haramain Al-Juwaini salah seorang tokoh aliran Asy'ariyah.Melalui imam Al-Haramain ini Al-Ghazali memperdalam Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Mantik dan Ilmu Kalam.Karena dinilai berbakat dan berpotensi, Al-Ghazali diangkat menjadi asistennya dan sering dipercaya untuk menggantikan beliau di beberapa acara pengajian ataupun diskusi, manakala gurunya berhalangan.

Setelah gurunya imam Al-Haramain wafat (1085) Al-Ghazali pindah ke kota Mu'askar, memenuhi undangan Perdana Menteri Nizamul Mulk pendiri madrasah Nizamiyah. Mu'askar pada waktu itu adalah tempat pemuka Iman perdana menteri, pembesar-pembesar kerajaan, para ulama dan intelektual terkemuka. Di Mu'askar secara rutin diadakan pertemuan-pertemuan ilmiah di Istana Nizamul Mulk dan melalui forum inilah Al-Ghazali menampakkan kecerdasan dan kemahirannya dalam segala bidang ilmu, sehingga namanya menjadi masyhur dan sebagai puncaknya dia diangkat oleh Perdana Menteri sebagai guru besar madrasah Nizamiyah di Bagdad.Dengan kedudukan dan kemasyhuran ini, duniawiyah imam Al-Ghazali menjadi makmur, dengan uang yang cukup banyak. Keadaan yang demikian ini tidak berlangsung lama, sebab setelah lima tahun (1090 - 1095) memangku jabatan itu, dia mengundurkan diri.

Mengapa Al-Ghazali mengundurkan diri dari kehidupan yang begitu mewah, kepada kehidupan sederhana dan apa adanya. Inilah yang perlu dikaji.Pada diri Al-Ghazali timbul dua keraguan. Keraguan pertama, dari sekian banyak golongan atau aliran yang ada pada waktu itu, manakah golongan atau aliran yang benar, sebab masing-masing mereka mengaku bahwa merekalah yang benar. Keraguan kedua, yang manakah jalan yang benar yang harus ditempuh sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh masing-masing golongan atau aliran itu.

Keraguan ini timbul, terutama sekali setelah mempelajari Ilmu Kalam, karena dalam pembahasan Ilmu Kalam itu beliau mengetahui ada beberapa aliran yang kontradiksi antara satu dengan yang lain. Untuk meletakkan dasar yang kuat dalam penyelidikannya, Al-Ghazali meletakkan batasan-batasan untuk mencari kebenaran itu dan mengadakan studi yang secermat-cermatnya pada setiap golongan dan aliran tersebut.Kesimpulan dari penelitian Al-Ghazali, ialah bahwa aliran Ilmu Kalam, sebagian besar dari pembahasannya adalah untuk menjawab serangan-serangan dari lawannya, sehingga ia tidak kunjung sampai kepada sasaran. Banyak sekali pembahasan dari Ilmu Kalam itu yang kontradiksi, karena memang didasarkan kepada dalil-dalil atau argumentasi yang kurang kuat.

Pada aliran filsafat, beliau temukan masalah kepalsuan, pemutarbalikan fakta dan khayalan-khayalan, sehingga ada tiga macam pendapat ahli filsafat yang harus dikafirkan,

yaitu pertama, alam ini qadim. Al-Ghazali berpendapat kalau alam ini qadim, maka ada yang qadim selain Allah SWT. Qadim adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Ini berarti mengingkari Allah sebagai pencipta, dan ini sama dengan kufur.

Kedua, Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Al-Ghazali mengatakan pendapat ini akan menyesatkan umat Islam, karena pendapat ini membawa kepada pengingkaran sifat Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam, sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya. Tidak ada satupun yang luput dari pengetahuan Allah SWT.

Ketiga, pendapat filosof tentang abadinya roh dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Pendapat ini bertentangan dengan ayat Al Qur'an dan karenanya tidak dapat diterima. (Ensiklopedia Islam 1994, 2 : 26-27)
Selanjutnya Al-Ghazali menetapkan bahwa akal manusia tanpa petunjuk/bimbingan wahyu dari Allah tidak akan mampu mengetahui alam ghaib, alam metafisika, apalagi untuk makrifat kepada Allah SWT.Setelah semua aliran dan golongan itu dimasuki, diteliti dan diketahui, terdapat padanya kelemahan dan kekeliruan.

Akhirnya imam Al-Ghazali menekuni ajaran dan amal tasawuf dan mempelajari jalan yang ditempuh oleh mereka. Setelah berkhalwat, beramal, berzikir dan berpikir lebih dari sepuluh tahun dengan riadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh dan terus menerus, akhirnya sirnalah semua keraguan itu, setelah Al-Ghazali memperoleh Nur Uluhiyah, cahaya ketuhanan yang dipancarkan oleh Allah ke dalam hatinya, dan dia berpendapat dan meyakini dengan haqqul yakin, bahwa ajaran dan amal serta jalan yang ditempuh oleh golongan sufi adalah yang benar.Namun demikian tarikat sufiyah ini tidak akan berhasil sempurna, bila ditekuni ilmunya saja. Ilmu tarikat Sufiyah ini yang dibutuhkan tidak banyak, yaitu mengetahui dasar-dasar pokok syariat dan hakikat yang fardhu 'ain. Yang lebih menentukan sampainya seseorang kepada Nur Uluhiyah, sehingga seseorang itu musyahadah dan makrifah terletak pada pengamalan yang sungguh-sungguh, riadlah dan mujahadah yang terus menerus dibawah bimbingan Syekh Mursyid. Selain daripada itu berkhalwat dalam waktu yang panjang atau dalam waktu yang pendek, sangat menentukan proses keberhasilan itu. Dengan demikian ilmu menempuh jalan Sufiyah tidak sulit untuk dimengerti, sebab semuanya jelas berdasarkan ilmiah dengan dalil-dalil yang terang. Tetapi yang sulit dan tidak semua orang sanggup menjalankannya adalah mengamalkan jalan tarikat Sufiyah itu.Sulit dan berat itu disebabkan tidak sepenuhnya orang tersebut berserah diri kepada Allah dan ikhlas beramal. Oleh sebab itulah imam Al-Ghazali menegaskan keberhasilan seseorang sufi tergantung kepada taslim (berserah diri), dan kepada keikhlasan seseorang dalam beramal.Asumsi Al-Ghazali, kebanyakan orang tidak berhasil karena mereka membisu, buta dan tuli serta tidak memperhatikan firman-firman Allah yang berkenaan dengan kunci ikhlas ini.Firman Allah SWT,
Artinya : Sesungguhnya hanya milik Allah sajalah agama yang murni (ikhlas) itu. (Q.S. Az Zumar 39 : 3).

Firman Allah SWT :
Artinya : Padahal tidaklah mereka disuruh, kecuali menyembah Allah dengan memurnikan/mengikhlaskan ketaatan semata-mata hanya kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus. (Q.S. Al Bayyinah 98 : 5).

Firman Allah SWT,
Artinya : Maka serulah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu semata-mata hanya untuknya. (Q.S. Al Mu'min 40 : 14).
Hanya satu wasiat utama beliau yang selalu diulang-ulanginya menjelang beliau menghembuskan nafas penghabisan,

"Hendaklah kamu senantiasa berbuat ikhlas".Berdasarkan ilmu dan amal yang haqqul yakin inilah, maka setelah beliau kembali ke kota Tus di Khurasan, kota kelahirannya, dia mendirikan alkah atau sekolah khusus untuk calon sufi yang diasuhnya, sampai dia wafat tahun 505 Hijriah atau 1111 Miladiyah.Adapun tulisan-tulisan beliau yang menjelaskan kelemahan dan kekeliruan aliran Ilmu Kalam dan yang lain-lain, termaktub dalam buku beliau "Al Munqiz Minadalal" (Penyelamat dari Kesesatan). Tentang kelemahan dan kekeliruan filsafat, termaktub dalam buku beliau Maqaasid Al-Falasifah" (Tujuan para Filosof) dan buku "Tahaafut Al-Falasifah" (Kekacauan para Filosof). Tulisan beliau tentang Fikih dan Tasawuf adalah "Ihya Ulumuddin" yang amat populer dan menjadi buku referensi utama dalam Ilmu Tasawuf dan juga Ilmu Fikih.Melengkapi penelitian dan kesimpulan yang ditempuh oleh Al-Ghazali dalam Ilmu Tasawuf, penulis kemukakan pendapat imam Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi,

Artinya : Mazhab kita ini (Ilmu Tasawuf) terikat oleh Al Qur'an dan As Sunnah. Siapa saja yang belum atau tidak belajar Al Qur'an dan Al Hadis, serta tidak pula pernah duduk belajar (menjadi murid) dengan Ulama (Mursyid), maka orang itu tidak boleh mengikuti kegiatan tarikat ini. (Al Qusyayri :430).
Dari uraian dan penjelasan tersebut, nyata bahwa jalan yang ditempuh oleh para sufi adalah jalan yang benar, didasarkan kepada dalil yang kuat dan ilmiah, sesuai dengan ilmu pengetahuan agama.

5. Tasawuf Dan Pengamalan Syariat:Seluruh pengamal tasawuf yang mengamalkan pengamalan tarikat muktabarah sepakat bahwa landasan utama peramalan itu adalah pengamalan syariat yang kuat. Semua lembaga tarikat Muktabarah berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang sangat menekankan pengamalan syariat yang sempurna, adalah satu-satunya jalan untuk berhasilnya pengamalan tarikat itu. Sementara ada sebagian orang yang berpura-pura mengaku pengamal tasawuf tapi tidak mengamalkan syariat, mengatakan mereka telah sampai ke tingkat yang tinggi, telah sampai ke tingkat musyahadah yang dibuktikan dengan beberapa kekeramatan-kekeramatan.Pengakuan yang demikian ini adalah sesat, karena sangat bertentangan dengan Al Qur'an dan Al Hadis, dan tidak sesuai dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berbeda atau sangat bertentangan dengan kenyataan yang dilaksanakan oleh para tokoh sufi pengamal tarikat Al Muktabarah.

Pengakuan-pengakuan yang demikian ini umumnya datang dari orang yang berpura- pura pengamal tasawuf atau datang dari pihak-pihak yang tidak senang kepada jalan yang ditempuh oleh para sufi.Para sufi menekankan peramalannya harus didasarkan kepada:-

At Taslim (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT),
At Tafwidh (berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT),
At Tabarri Minan Nafsi (Pembebasan diri dari hawa nafsu),
dan At Tauhid bil Khalqi wal Masyi'ah (mengesakan hanya Allah sajalah yang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak).

Berbeda dengan golongan Qadariah yang mendasarkan peramalannya kepada:-

Al Fi'lu (perbuatan adalah kehendak yang bersangkutan),
Al Masyi'ah (semua kehendak adalah kehendak yang bersangkutan),
Al Khalqah (semua yang diciptakan adalah ciptaan yang bersangkutan)
dan at Takdir (semua takdir itu tergantung kepada yang bersangkutan).

Mereka ini semuanya, mendasarkan apa saja yang mereka lakukan tergantung kehendak mereka.Di dalam Al Qur'an banyak sekali dalil yang menunjukkan kebenaran landasan peramalan para sufi tersebut. Hasilnya pun kelihatan dengan pengamalan yang sungguh-sungguh yang didasarkan kepada syariat yang kuat para sufi memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan . Apa yang diperoleh para sufi ini merupakan buah, hasil ibadatnya yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Apa yang diperoleh oleh para sufi ini belum tentu, atau bahkan kecil sekali kemungkinannya dapat diperoleh oleh orang lain. Letak perbedaannya menurut Al-Ghazali, para sufi lebih gigih dalam riadlah dan mujahadah. Mereka tidak memadai dengan pengamalan-pengamalan syariat wajib saja, tetapi harus juga mengamalkan syariat-syariat sunnah. Para sufi tidak hanya meninggalkan yang haram dan makruh saja, tetapi juga meninggalkan hal-hal yang mubah (kebolehan), yang tidak berfaedah apalagi kalau hal itu dapat membawa kepada melalaikan syariat.Ibnu Khaldun menyatakan, berkat riadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh, maka para wali memperoleh tanda-tanda kemenangan yang besar, memperoleh kekeramatan-kekeramatan, sebagaimana hal itu juga diperoleh para sahabat Rasulullah As Sabiqunal Awwalun. Orang tidak boleh tertipu dan terpedaya dengan adanya kekeramatan-kekeramatan ini sebelum dibuktikan kuatnya syariat yang bersangkutan. Kekeramatan ini tidak menjadi tujuan dan tidak pula menjadi ukuran. Yang menjadi tujuan adalah dekat kepada Allah, mendapat ridla-Nya dan yang menjadi ukurannya mengamalkan syariat dengan berhakikat sempurna.Pengamal tasawuf yang telah memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan adalah suatu bukti bahwa dia telah menjalani atau menempuh jalan yang benar dan mengamalkan syariat yang haq.Dalam buku "Al Munqiz Minadlalal" diuraikan tentang para sufi yang banyak memberikan pendapat atau komentar berkenaan dengan peramalan tasawuf dihubungkan dengan peramalan syariat ini disebutkan di dalamnya,

a. Imam Al GhazaliAl Ghazali mengatakan, "Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat, sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan,
Artinya : Jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan."

b. Abu Yazid Al Bustami menyatakan,
Artinya : Andaikata kamu melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama.

c. Sahl at TasturiAt Tasturi mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al Kitab (Al Qur'an), mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan tobat dan menunaikan hak-hak orang lain.

d. Junaid al BaghdadiAl Junaidi mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah, maka beliau mengatakan "Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan". Selanjutnya beliau mengatakan,
Artinya : Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum yang mengatakan adanya pengguguran amalan- amalan. Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar, dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik daripada orang yang berpaham seperti itu.

e. Abul Hasan As SyaziliAs Syazili mengatakan,
Artinya : Jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri "sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul". Allah tidak menjamin dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian), kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasul.
Sebagai kesimpulan, semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur'an dan As Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah, sebagai panutan tertinggi para sufi.Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Nabi SAW ditanya tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT. Maka jawab Nabi SAW, "Mereka telah berdusta. Karena jika mereka berbaik sangka, tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik." (Dr. Abdul Halim Mahmoud 1964: 161 - 167).

6. Tasawuf Dan Mencari Rezeki:Banyak pendapat atau kesan yang kurang tepat atau keliru tentang bagaimana seharusnya kehidupan para sufi. Hal ini adalah wajar dan beralasan, karena salah satu daripada makam yang harus ditempuh oleh calon sufi adalah makam zuhud. Ada dua pendapat tentang pengertian zuhud ini.

Pendapat pertama, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirati. Pengertian pertama ini akhirnya berkembang ekstrim sehingga zuhud berarti benci dan meninggalkan sama sekali segala sesuatu yang bersifat duniawiyah.

Pendapat kedua, zuhud tidak berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Tetapi zuhud sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam pengabdian diri kepada Allah SWT.Menanggapi pengertian ini penulis lebih condong kepada pengertian kedua. Alasan penulis selain Al Qur'an dan Al Hadis yang tidak menyuruh kita kearah pengertian zuhud yang ekstrim pertama, juga kehidupan para sahabat zaman Rasulullah dan kehidupan sahabat semasa Khulafaur rasyidin. Sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti Abu Bakar As Siddiq, Usman bin Affan dan Abdul Rahman bin 'Auf adalah orang-orang yang kaya. Walaupun mereka orang kaya, mereka tetap hidup sebagai orang zuhud, yaitu hidup sederhana, di mana kekayaan mereka itu tidak akan mengurangi apalagi memalingkan pengabdian diri mereka kepada Allah SWT.

Pengertian zuhud yang kedua ini sesuai dengan firman Allah SWT,
Artinya : (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al Hadid 57 : 23).

Firman Allah SWT,
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu (Q.S. Al Qashash 28 : 77).

Pengertian kedua ayat ini adalah bahwa kita manusia tidak dapat memisahkan diri kita sama sekali dari harta dan segala bentuk kesenangan duniawi yang diridlai Allah, sebab kita masih hidup di alam dunia. Pengertian lainnya adalah bahwa harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi harta benda tersebut tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak seseorang, sehingga menghalangi yang bersangkutan untuk menghampirkan dirinya kepada Allah SWT, atau dengan kata lain, sikap orang sufi tidak boleh diperbudak oleh harta duniawi, tetapi harta duniawi itu dijadikan persembahan, pengabdian ubudiyah lebih banyak lagi kepada Allah SWT.Timbul pertanyaan, "Apa sebab terjadinya pengertian dan sikap zuhud ini ?". Kajian dan gerakan zuhud ini muncul di kalangan pengamal tasawuf pada akhir Abad Pertama hijriah. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta pembesar negara, yang merupakan dampak dari kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dalam pembebasan, penaklukan negeri-negeri Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.Semasa Dinasti Umayyah pola hidup sederhana berubah menjadi pola hidup mewah di kalangan para khalifah dan pembesar-pembesar negara dan timbulnya jurang pemisah antara rakyat dan penguasa. Pola hidup mewah dan kondisi mental yang demikian ini tidak sesuai dengan pola ajaran dan amal agama seperti dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Demikian pula pola hidup zuhud yang ekstrim seperti pengertian pertama adalah tidak selaras dengan arahan Al Qur'an dan Al Hadis.Pola ajaran dan amal tasawuf harus sesuai dengan Al Qur'an dan Al Hadis, atau dengan kata lain yang bertentangan dengan itu bukanlah pola ajaran dan amal tasawuf. Di dalam Al Qur'an maupun Al Hadis kita disuruh bertebaran di muka bumi ini untuk mencari rezeki sebagai karunia Allah.

Firman Allah SWT,
Artinya : Maka bertebaranlah kamu dan carilah rezeki sebagai karunia Allah (Q.S. Al Jumu'ah 62 : 10).

Firman Allah SWT,
Artinya : Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari rezeki sebagian dari karunia Allah (Q.S. Al Muzammil 73 : 20)

Firman Allah SWT,
Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki dari perniagaan) dari Tuhanmu (Q.S. Al Baqarah 2 : 198).

Yang prinsip adalah usaha-usaha mencari rezeki itu, haruslah dari usaha yang halal dan hasilnya harus disyukuri dengan memanfaatkannya sesuai dengan syariat agama.Firman Allah SWT,
Artinya : Dan Kami adakan di muka bumi itu sumber penghidupan, tetapi amat sedikitlah kamu yang bersyukur (Q.S. Al A'raf 7 : 10).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Pedagang yang jujur pada hari kiamat nanti akan dihimpun bersama orang-orang yang jujur (siddiqin) dan bersama orang-orang yang mati syahid. (H.R. At Tarmizi dan Al Hakim).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : "Barang siapa mencari dunia dengan halal, menjaga diri dari minta-minta, berusaha untuk keluarganya dan belas kasih kepada tetangganya, maka ia bertemu dengan Allah nanti. Sedangkan wajahnya seperti bulan pada malam purnama." (H.R. Abu Syaikh, Abu Na'im dan Al Baihaqi).

Pada suatu ketika Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama dengan para sahabatnya, tiba-tiba tampaklah disana seorang yang masih muda, yang mempunyai tubuh kekar dan kuat. Ia pagi-pagi itu telah bekerja dengan penuh semangat. Para sahabat lalu berkata, "Kasihan sekali orang ini, andaikata kemudaan serta kekuatannya itu dipergunakan untuk sabilillah, alangkah baiknya".

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : "Janganlah kamu semua berkata demikian, sebab orang itu kalau keluarnya dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jikalau ia bekerja itu untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itu adalah fi sabilisy syaitan atau mengikuti jalan setan." (H.R. Thabrani).

Allah benci kepada orang yang berpangku tangan dan orang minta-minta.Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Barang siapa yang membuka pada dirinya pintu meminta-minta, maka Allah membukakan atasnya 70 (tujuh puluh) pintu kefakiran (H.R. Tarmizi).

Diriwayatkan bahwa Isa a.s. melihat seorang laki-laki, maka beliau bersabda, "Apakah yang
kamu kerjakan ?". Ia menjawab, "Saya beribadat". Isa bersabda, "Siapakah yang menanggungmu ?". Ia menjawab, "Saudaraku". Isa bersabda,"Saudaramu lebih baik ibadatnya daripada kamu".Ibnu Mas'ud r.a. berkata, " Sesungguhnya saya benci untuk melihat seorang laki-laki itu menganggur, tidak bekerja pada urusan dunianya dan tidak pula bekerja dalam urusan akhiratnya.Demikianlah sebagian dari dalil-dalil Al Qur'an dan Al Hadis maupun Atsar, mengingatkan supaya kita berusaha mencari rezeki sebagai karunia Allah dan mensyukurinya.Para sufi itu pada umumnya bekerja sendiri untuk mencari nafkahnya dalam segala bidang usaha, sehingga ada di antara mereka itu diberikan julukan-julukan sesuai dengan bidang usahanya itu.

Seperti Al Qashar (Tukang Penatu), Al Waraak (Tukang Kertas), Al Kharraaz (Penjahit Kulit Hewan), Al Bazzaaz (Pengrajin Tikar dari Daun Kurma), Al Hallaaj (Pembersih Kulit Kapas), Az Zujaaji (Pengrajin Dari Kaca), Al Hasriy (Pengrajin Tikar), As Shairafi (Penukar Uang), Al Muqry (Pembaca) dan Al Farraa' (Penyamak Kulit).Sebagai manusia biasa, mereka itu ada yang kaya dan ada pula yang miskin. Mereka yang kaya konsekwen mengeluarkan zakat hartanya, dan bagi yang tidak sampai nisabnya mereka berinfaq dan bersadaqah sesuai dengan Q.S. Al Ma'arij 70 : 24 - 25.Mengenai bagaimana sikap mental sufi yang kaya, dapat kami contohkan tokoh-tokoh sufi berikut ini,

a. Saidi Syekh Abul Hasan As Syadzili As: Syadzili adalah salah seorang tokoh sufi kenamaan. Seorang tokoh sufi yang kaya raya yang memiliki sawah ladang yang luas, ternak sapi yang banyak dan juga seorang saudagar.Bagaimana sikap tokoh ini tentang dunia dengan segala kemegahannya, baik wanita, harta dan tahta tercermin dalam do'a beliau yang terkenal,
Artinya : Ya Allah, lapangkanlah rezekiku di dunia ini, tetapi jangan Engkau jadikan rezeki itu penghalang untuk menuju akhiratku. Ya Allah, jadikanlah duniaku ini (harta dan lain-lain) di tangan- tangan kami dan janganlah Engkau masukkan ke dalam hati sanubari kami ini.
Dari do'a ini tergambar sikap kaum sufi terhadap dunia dengan segala kemegahannya itu. Yaitu kaum sufi tidak tunduk kepada dunia dan kaum sufi tidak sudi diperbudak oleh dunia, tetapi menjadikan dunia itu sebagai sarana untuk menuju dan memperoleh akhirat yang lebih sempurna, sesuai dengan surat Al Hadid 57 : 23 dan surat Al Qashash 28 : 77.

b. Ibnu 'Athaillah As Sakandary As :Sakandary berkisah bagaimana seorang sufi yang kaya raya mempraktekkan ajaran Al Qur'anul Karim. Walaupun hartanya berlimpah-limpah tetapi tidak menghalanginya dalam beramal sebagai seorang sufi. As Sakandary berkisah kepada muridnya tentang seorang kawannya di Maroko, yaitu seorang sufi yang hidupnya zuhud terhadap duniawi dan bersungguh-sungguh dalam ibadatnya. Sumber hidupnya hanya apa yang diperolehnya dari memancing. Sebagian dari hasil itu dimakan dan sisanya disedekahkan.Pada suatu hari ada murid As Sakandary akan pergi ke Maroko dan dia berpesan kepada muridnya yang juga sufi itu. Kalau kamu sampai di suatu desa di Maroko di mana kawanku bertempat tinggal, mintalah do'a kepadanya, sebab dia adalah seorang wali. Setelah sampai di desa tersebut, murid As Sakandary ini menemui rumah kawan gurunya tersebut. Rumah itu adalah rumah besar dan mewah seperti layaknya rumah raja-raja, yang tidak layak sebagai rumah seorang sufi. Waktu ditanya ternyata benar bahwa itu adalah rumah kawan gurunya yang dicari. Ketika itu sang sufi sedang bepergian dan ketika pulang ternyata dia menunggang kuda dengan pakaian kendaraan yang serba mewah, seolah-olah dia adalah seorang raja.Melihat keadaan ini hampir saja murid As Sakandary ini pulang dan membatalkan niatnya untuk bertemu dengan guru sufi itu, namun terpikir olehnya tidak baik melanggar perintah guru. Lalu dia menemui juga guru sufi tersebut. Ketika diizinkan masuk, dia pun makin heran, setelah melihat banyaknya pelayan yang berpakaian serba mewah, dengan isi rumah yang serba mewah dan dimulailah pembicaraan antara keduanya. "Saudaramu si Fulan berkirim salam kepadamu". "Apakah kau dari sana?" tanyanya padaku. "Iya", jawabku. Lalu dia berkata, "Jika kamu kembali kepada saudaraku itu katakan kepadanya", Sampai bilakah kesibukanmu kepada dunia itu berakhir". Keherananku semakin bertambah setelah mendengar pesan orang itu. Ketika aku bertemu dengan guruku, beliau bertanya, "Adakah kamu berjumpa dengan saudaraku ?". "Iya", jawabku. "Adakah suatu pesan untukku ?" tanyanya. "Tidak", sahutku. Lalu beliau berkata, "Aku yakin pasti ada sesuatu pesan untukku". Maka aku ceritakan apa yang aku lihat dan apa yang dipesankan buat beliau. Mendengar ceritaku, guruku lalu menangis.Setelah agak lama,beliau berkata,

Artinya : Sungguh benar ucapan saudaraku itu, memang Allah telah membersihkan hatinya dari duniawi dan duniawi hanya dijadikan di tangannya dan lahirnya saja, sedangkan aku mengambil dunia itu dari tanganku dan aku selalu memikirkannya.

c. Imam Syamsuddin Ad Dirawaty Dimyati: Syekh Syamsuddin adalah seorang tokoh sufi yang saleh, wara' dan zuhud, pejuang, selalu berpuasa, selalu bershalat, gemar menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Pada majelis taklimnya banyak dikunjungi pembesar-
pembesar negara dan kepala-kepala suku, sehingga beliau terkenal di negara Mesir. Beliau tinggal di Masjid Jamik Al Azhar dimasa pemerintahan Qanshu Al Ghuury. Pada suatu ketika beliau mengkritik Sultan Al Ghuury di depan umum, karena tidak mau berjihad dengan alasan tidak ada kapal. Pada waktu beliau dipanggil oleh Sultan berkenaan dengan kritik tadi, maka Imam Syamsuddin berkata kepada Sultan, "Sesungguhnya tuan telah melupakan nikmat yang diberikan oleh Allah, bahkan berani berbuat maksiat kepada-Nya. Tidakkah tuan ingat, semasa tuan memeluk agama Nasrani, kemudian tuan tertawan dan dijual sebagai budak belian, untuk kemudian dipindahkan dari tangan yang satu ke tangan yang lainnya, kemudian Allah menganugerahkan kemerdekaan dan Islam kepada tuan. Derajat tuan menjadi terangkat karenanya, hingga menjadi Sultan. Sebentar lagi, mungkin tuan akan mati, dikafankan, digalikan liang lahat untuk mengubur tuan. Kemudian kubur yang amat gelap akan tuan huni, dan tuan akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang, haus, lapar dan akan dihadapkan ke hadirat Allah Yang Maha Adil, yang takkan berbuat kezaliman sedikit pun. Kemudian akan terdengar seruan, 'Barang siapa yang haknya pernah dirampas dan diperkosa oleh Al Ghuury, maka kemarilah !'. Lalu datang berbondong-bondong manusia yang tak terhitung banyaknya".Nasehat yang diberikan oleh Syekh itu membuat wajah sang Sultan berubah, sampai salah seorang staf dan sekretaris Sultan berkata,"Bacakan Al Fatihah wahai tuan syekh, kami takut kalau sultan akan hilang akalnya". Setelah Syekh itu pergi dan sultan pun sadar, maka sultan pun berkata, "Berikan buat Syekh ini 10.000 (sepuluh ribu) dinar agar dapat digunakan membiayai pembangunan menara benteng di kota Dimyat".Namun uang itu dikembalikan dan dikatakan oleh beliau, "Aku seorang berharta yang tak butuh bantuan dari siapa pun, kalau tuan perlu uang, akulah yang akan meminjaminya buat tuan". Di Majelis itu tidak seorangpun yang terlihat lebih mulia dari sang syekh dan tidak ada yang lebih rendah dari sang sultan sendiri.Itulah pribadi Syekh Syamsuddin Ad-Dirawayati yang tergolong ulama yang amat suka beramal. Beliau mengeluarkan biaya 40 000 (empat puluh ribu) dirham untuk pembangunan menara kota Dimyat dari kantongnya sendiri, tanpa bantuan dari seorangpun. Beliau juga menyediakan minuman.Beliau berdagang mentimun dan sayur- sayuran lainnya, sedikitpun tidak mau mengambil uang jasa dari jabatannya sebagai seorang Ahli Fikih. Beliau melarang keras para muridnya untuk makan harta wakaf dan sedekah, dan dikatakan bahwa harta itu akan mengotori hati mereka. (Dr. Abdul Halim Mahmoud : 32 - 35).

d. Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya:Prof. Dr. H. Kadirun Yahya adalah seorang tokoh sufi kenamaan masa kini. Beliau adalah seorang tokoh sufi moderen, tokoh sufi Tekhnokrat yang meneruskan peramalan Tarikat Naqsyabandiyah sebagai Mursyid yang ke-35 (tiga puluh lima). Semenjak diangkat menjadi mursyid tahun 1952, beliau aktif terus menerus memimpin tarikat Naqsyabandiah Al Khalidiyah. Diperkirakan muridnya berjumlah belasan juta orang dengan jumlah ratusan Surau, di dalam negeri dan luar negeri. Beliau menyelenggarakan suluk untuk para pengamal tarikat ini sepuluh kali dalam setahun, yang setiap kali suluk lamanya 10 (sepuluh) hari. Tempat suluk itu tersebar di Indonesia dan luar negeri yang jumlah pesertanya dalam satu periode suluk mencapai ribuan orang. Penyelenggaraan suluk-suluk ini terlaksana dengan baik berkat bimbingan yang seksama dari Syekh Mursyid dan kerjasama antara petugas-petugas dengan beratus-ratus peserta suluk.

Prof. Dr. H. Kadirun Yahya adalah pakar Ilmu An-Nadhori (Ilmu Al Kasbi) dan banyak sekali menerima limpahan rahmat karunia Allah yang berbentuk Ilmu Al-Kasyfi dan Ilmu Ladunni. Beliau adalah sufi teknokrat yang mahir berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Beliau adalah seorang sufi yang kaya raya yang memiliki usaha di berbagai bidang unit usaha, antara lain :- Agrobisnis. Beliau memiliki perkebunan yang luasnya mendekati 100 (seratus) ha. Yang meliputi perkebunan kelapa sawit, apel, limau, dan lain-lain. Beliau memiliki usaha ternak, mulai dari ternak unggas seperti puyuh, ayam, ikan, itik dan ternak hewan seperti kambing dan sapi.- kilang. Beliau memiliki kilang air minum yang bermerek Aminsam di Medan dan Jakarta.- Pertukangan. Beliau mempunyai usaha bidang kereta dan perbengkelan.- Keterampilan. Beliau mempunyai beberapa usaha keterampilan, seperti konveksi.- Kedai. Beliau memiliki beberapa kedai, di antaranya adalah kedai elekronik.- Jasa. Beliau memiliki biro travel yang mempunyai jaringan internasional.- Pendidikan. Beliau memiliki beberapa lembaga pendidikan di kampus Universiti Panca Budi, yang berdiri di suatu lokasi yang luasnya 6 (enam) ha. Lembaga-lembaga ini menyelenggarakan pendidikan mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA sampai dengan Universiti yang bernama Universiti Panca Budi. Lembaga pendidikan ini mempunyai beberapa cabang di daerah Sumatera Utara.Seluruh usaha itu bernaung di bawah suatu yayasan yang bernama Yayasan Prof.Dr.H.Kadirun Yahya. Bidang usaha yang begitu banyak telah mempekerjakan beberapa puluh kepala keluarga dan ratusan karyawan. Untuk mengelola semuanya itu beliau mengangkat pimpinan-pimpinan unit usaha yang profesional dalam bidangnya.Selain itu salah satu dari karunia besar yang dilimpahkan Allah kepada beliau adalah bidang pengobatan. Tidak terhitung banyaknya orang yang telah dibantu beliau untuk menyembuhkan penyakit. Mulai dari penyakit yang ringan sampai dengan penyakit yang berat, bahkan penyakit- penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan dokter, dengan izin Allah dapat sembuh ditangan beliau. Untuk membantu beliau dalam masalah ini, pada beberapa surau atau beberapa tempat tertentu didirikan klinik pengobatan.Kegiatan lainnya yang beliau lakukan dan cukup menonjol adalah riset di bidang yang sesuai dengan profesi beliau sebagai seorang ilmuwan dan Syekh Mursyid, yang sampai saat ini telah banyak dihasilkan temuan-temuan ilmiah baik dalam ilmu kimia maupun fisika. Di antara temuan-temuan beliau adalah :-Teknik pembuatan air mineral yang tidak merusak ozon, tetapi dapat menghasilkan ozon, dengan proses yang sangat sederhana,-Tapak Kasut yang tahan api,-Pembuatan kulit imitasi.-dan lain-lain.Sebagai top manager yang mengelola sekian unit usaha dengan asset kekayaan yang begitu besar, tidak sedikitpun semua usaha dan kegiatan pengobatan ini mengurangi atau mengganggu apalagi melalaikan kegiatan beliau sebagai pemimpin rohani, yaitu Syekh Mursyid tarikat Naqsyabandiah.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beliau telah melaksanakan maksud dan tujuan hadis yang artinya, "Mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin yang lemah". Pengertian kuat di sini adalah meliputi segala bidang duniawiyah maupun ukhrawiyah.Asset unit usaha, kekayaan dan hasil riset yang begitu besar, lebih banyak diperuntukkan untuk ubudiyah, pengabdian, guna mengembangkan dan membina peramalan tarikat ini. Beliau telah mengatakan bahwa kekayaan yang begitu banyak adalah karunia Allah dan milik Allah. Karena itu beliau hanya berhak mentasarufkan, menyelenggarakan kekayaan itu untuk mendapatkan cinta dan ridla dari Allah SWT. Sebagian dari kekayaan itu diperuntukkan untuk membina dan membangun surau lama dan surau baru. Sesuai dengan ketentuan syariat agama, beliau selalu mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah secara rutin kepada yang berhak menurut asnafnya. Setiap musim haji tidak kurang dari 60 (enam puluh) ekor lembu sebagai kurban, ditambah berpuluh-puluh ekor kambing.Demikianlah gambaran pribadi tokoh sufi masa kini yang dengan kekayaannya tidak sedikitpun melalaikan ibadatnya kepada Allah, bahkan kekayaan itu memperkuat barisan untuk menegakkan agama Allah atau ( ....................................................). .

7. Tasawuf Dan Perbedaan Ilmu An-Nadhori dengan Ilmu Al-Kasyfi:Di Dalam Al Qur'an maupun Al Hadis banyak sekali ayat dan sabda Rasul yang menjelaskan keutamaan ilmu, baik Ilmu An-Nadhori maupun ilmu Al-Kasyfi.Ilmu An-Nadhori adalah ilmu pengetahuan hasil belajar yang berpusat pada otak atau akal. Ilmu An- Nadhori ini meliputi Ilmu Pengetahuan Agama dan Ilmu Pengetahuan Umum. Ilmu Al-Kasyfi adalah ilmu yang diperoleh dengan terbukanya hijab (dinding atau tabir), sehingga hati nurani manusia mengetahui rahasia Ilahi, alam ghaib sebagai rahmat dari Allah SWT, setelah dekatnya yang bersangkutan kepada Allah. Menurut bahasa, kasyf berarti terbuka atau tidak tertutup. Ilmu Al- Kasyfi itu berpusat di hati sanubari manusia yang berada di dalam dada. Dikalangan sufi dikatakan bahwa Ilmu An-Nadhori itu adalah ilmu yang dicari, ilmu di permukaan di alam syahadah. Ilmu Al Kasyfi adalah ilmu yang diberi, ilmu karunia Allah SWT Yang Maha Berilmu.Pengamal tasawuf melandasi amalannya dengan Ilmu An-Nadhori yang pengamalannya itu dilaksanakan dengan riadlah, mujahadah dan terus menerus sehingga membuahkan kasyf seperti yang dijanjikan dalam banyak ayat dan sabda Rasul.Beberapa ayat dan sabda Rasul yang berkenaan dengan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu, antara lain sebagai berikut :Firman Allah SWT,
Artinya : Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S. Al Mujadalah 58 : 11).

Firman Allah SWT,
Artinya : Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Q.S. Fathir 35 : 28).

Firman Allah SWT,
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al Qur'an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami (Q.S. Al A'raf 7 : 52).

Firman Allah SWT,
Artinya : Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa yang telah mereka perbuat), sedang Kami mengetahui keadaan mereka. Dan Kami sekali-kali tidak jauh (mengetahui perbuatan mereka) (Q.S. Al A'raf 7 : 7).
Firman Allah SWT,
Artinya : Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (Q.S. Al Ankabut 29 : 49).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah menjadikannya ia pandai mengenai agama dan dia diilhami petunjuk-Nya. (H.R. Bukhari Muslim).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Ulama itu adalah pewaris-pewaris para Nabi. (H.R. Abu Daud, At Tarmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Sesungguhnya hikmah (ilmu) itu menambah orang yang mulia akan kemuliaan dan mengangkat hamba sahaya, sehinggad ia dapat mencapai apa yang dicapai oleh raja-raja. (H.R. Abu Na'im).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Dua budi pekerti tidak terdapat pada orang munafik yaitu perilaku yang baik dan pandai (paham) dalam agama. (H.R. At Tarmizi).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah ilmu. (H.R. Al Hakim).

Ayat-ayat Al Qur'an dan sabda-sabda Rasul tersebut, meliputi Ilmu An-Nadhori dan ilmu Al-Kasyfi secara umum. Ilmu An-Nadhori baru boleh berbuah dan berfaedah jika diamalkan. Ilmu An-Nadhori apabila diamalkan sesorang, maka ilmunya akan bertambah lebih luas dan mendalam, dan juga bertambah ilmunya dengan ilmu Al-Kasyfi dan Ilmu Ladunni.Sebagaimana kita ketahui dan kita yakini bahwa sumber dari segala ilmu itu adalah Allah SWT. Allah memberikan ilmu dari-Nya melalui dua jalur.

Jalur pertama, melalui panca indera yang diolah oleh akal yang membuahkan Ilmu An-Nadhori. Akal tidak menjangkau masalah-masalah ghaib. Semua Ilmu An-Nadhori dapat diilmiahkan, sebab objeknya adalah alam syahadah. Akal dapat mengetahui ilmu atau rahasia ghaibah dengan wahyu.

Jalur kedua, melalui hati nurani yang berbentuk ilmu kasyaf dengan terbukanya hijab dan Ilmu Ladunni, petunjuk langsung dari Allah SWT. Hati nurani manusia itu mempunyai dua pintu, yaitu pintu masuk yang diterima dari ilmu Al-Kasyfi dan Ilmu Ladunni. Kedua ilmu ini ditransfer ke otak/akal untuk kemudian dizahirkan dalam bentuk Ilmu An-Nadhori. Para Nabi dan Rasul menerima wahyu melalui pintu hati, bukan melalui pintu akal atau panca indera.Syekh Abu Yazid Al-Bustami mengatakan, bukanlah seorang ulama itu adalah orang yang hafal sebuah kitab atau beberapa kitab, sebab apabila dia lupa kepada apa yang telah dihafalnya, maka dia pun menjadi seorang yang bodoh. Yang sebenarnya-benarnya ulama adalah ulama Allah yang menjadi pewaris Nabi yang mengambil ilmunya bukan hanya dari al kitab, tetapi ilmunya datang langsung dari Nur Allah, di setiap saat yang dia kehendaki tanpa melalui hafalan atau pengkajian., dan ilmu itulah yang dinamakan ilmu Al-Kasyfi atau Ilmu Ladunni.

Firman Allah SWT,
Artinya : Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S. Al Kahfi 18 : 65).

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqaan (Q.S. Al Anfal 8 : 29).

Ada beberapa tafsir tentang kalimat Al Furqan. Penafsiran umum ialah orang yang bertakwa yang mendapat petunjuk, sehingga dia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, dapat juga ditafsirkan mendapat pertolongan. Di kalangan sufi selain penafsiran umum tadi, mereka juga menafsirkan kata furqan dengan Nur atau Cahaya seperti firman Allah dalam surat Az Zumar 39 : 22 dan juga berarti jalan keluar seperti firman Allah di dalam surat At Thalaq 65 : 2.Para pakar di kalangan sufi kata Nur ini merupakan kata kunci untuk mendapatkan ilmu, hidayah, rahmat atau apa saja yang datang dari Allah. Prof. Dr. H. Kadirun Yahya seperti yang telah kami jelaskan mengatakan bahwa wasilah itu adalah sebagaimana firman Allah dalam surat An Nur 24 : 35.Rasulullah juga selalu berdo'a semoga Allah selalu memberikan Nur atau cahaya kepada beliau antara lain do'a itu artinya, "Allahumma ya Allah, berikanlah kepadaku cahaya dan tambahkanlah cahaya itu bagiku. Jadikanlah hatiku bercahaya, kuburku bercahaya, pendengaranku bercahaya, penglihatanku bercahaya, sehingga rambutku, kulitku, dagingku dan tulangku seluruhnya bercahaya.

Firman Allah SWT,
Artinya : Maka siapa saja orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (Q.S. Az Zumar 39 : 22).

Rasulullah memberikan penjelasan kepada orang yang menanyakan apa maksud syaraha dalam ayat itu sebagai berikut,
Artinya : Syaraha itu artinya : sesungguhnya cahaya itu apabila dimasukkan ke dalam lubuk hati sanubari, menjadi lapanglah dadanya dan terbukalah hatinya.

Sejalan dengan pengertian Nur dari surat Al Anfal 8 : 29, At Thalaq 65 : 2, Az Zumar 39 : 22 adalah pengertian paham tentang agama (Al Anbiya 21 : 79) dan hikmah yaitu ilmu yang berguna (Al Baqarah 2 : 269), dan Al Mutawassimin yaitu orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah (Al Hijr 15 : 75).
Semua ilmu yang datang dari Allah yang berbentuk furqaan, cahaya, jalan keluar, paham dan hikmah diperoleh tanpa melalui belajar. Ilmu ini dinamakan ilmu batin. Sebagaimana sabda Rasulullah,

Artinya : Ilmu itu ada dua macam, yaitu suatu ilmu batin di hati dan itulah ilmu yang bermanfaat (yang berguna) dan seterusnya.
Setiap umat Mukmin dan Muslim sesungguhnya telah memperoleh Ilmu An-Nadhori, Ilmu Kasyfi, cuma tingkatan dan kualitasnya saja yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain.
Ada tiga tingkatan orang yang mendapat ilmu Al-Kasyfi :

a. Muhadarah. Pada tingkatan ini akal manusia dikendalikan oleh bukti objektif kebendaan (burhan). Oleh sebab itu, tingkatan ini dapat mencapai Ilmul Yaqin yang masih dalam ruang lingkup pemikiran rasional.

b. Mukasyafah. Pada tingkatan ini manusia mampu menerima pengetahuan berdasarkan esplanasi (pencarian penjelasan, bayan). Orang yang mencapai taraf ini akan dapat mencapai 'Ainul Yaqin, yakni pandangan kebenaran objektif yang mengacu pada kebenaran yang mungkin.

c. Musyahadah. Tingkatan ini adalah pengalaman pribadi manusia (makrifat) yang langsung bisa menyaksikan sesuatu hal. Pengalaman pribadi ini, merujuk pada pengalaman batin berkat kedekatannya kepada Tuhan, sehingga dapat terbuka baginya pengetahuan Haqqul Yaqin. Yang terakhir ini adalah bayangan langsung Tuhan dan acapkali disebut juga dengan Al-Mu'ayanah (Ensiklopedi Islam 3, 1994 : 20 - 21).

Untuk mendapatkan kasyf, diri rohani dan diri jasmani seseorang itu harus bersih, dengan mengamalkan syariat agama dengan baik, serta riadlah dan mujahadah zikir yang sungguh-sungguh dan lestari, sehingga komponen-komponen rohaninya mampu menyimpan Islam (Q.S. Az Zumar 39 : 22), Iman (Q.S. Al Hujurat 49 : 7), makrifat (Q.S. An Najm 53 : 11), tauhid (Q.S. Ali Imran 3 : 190).
Seseorang yang mampu menyimpan komponen-komponen rohani Islam, Iman, makrifat dan tauhid yang demikian inilah, yang dapat memperoleh Ilmu Al-Kasyfi sesuai dengan tingkatnya masing- masing.

Bersambung Bab Kelima:Tasauf dalam Islam


posted at 9/11/2006 11:36:00 AM by Razali Bin Hassan:: 0 witty replies :: permalink


ARCHIVES

June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
January 2007
April 2007
May 2007
September 2007
October 2009

RECENT POSTS

ANTARA PRINSIP PENTING DALAM BERGURU
Allah S.W.T. Maha Mengetahui
Kesejahteraan dan Keselamatan Hanyalah pada Allah ...
Yang Maha Kuasa
Jauhi Sikap Sombong
Amanah Seorang Pesilat
PERBUATAN ZAHIR DAN SUASANA HATI
UZLAH UNTUK MASUK KE MEDAN TAFAKUR.
IKHLAS ADALAH ROH IBADAH
BERPEGANG PADA MAKAM

CREDITS

©Kembang Wali (Syabab Zuhuur Awliyak)

©Design by Websong

Powered by Blogger

 

TAGBOARD






Scrollbar By, CarrielynnesWorld.com