Kembang Wali (Syabab Zuhuur Awliyak)

 


ABOUT ME


Razali Bin Hassan
Singapore
Master of Pencak Silat Kembang Wali.
View my complete profile


LINKS

pencak silat
persisi
persilat
kidi
nur alhayat
hikam
al-risalah
istilah-istilah tasauf
suluk
martabat tujuh
sufi islam
yaya

 


September 15, 2006
Mursyid dan Tarikah

Allah Swt. berfirman:Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid (Al-Quran).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Quran dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf boleh ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.Pandangan demikian hanya layak secara teori belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, hampir boleh dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti sejarah akan kegagalan spiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.

Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Syarani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap memerlukan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah dunia ilmu, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dikecap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan marifat itu sendiri.Jalan marifat itu tidak boleh begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin.

Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya boleh dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisik sufism, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap memerlukan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Quran di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa keperluan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang boleh diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai kesempurnaan marifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus boleh memberikan bimbingan jalan kesempurnaan bagi para pengikut thariqatnya.Tentu saja, untuk mencari model manusia sempurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau tahapnya bukan lagi dengan menggunakan tahap rasional-intelektual, atau tahap-tahap empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedia misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logik-logiknya, hanya boleh dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati umum, tetapi hakikatnya tidak memiliki tahap sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam thaat ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Quran disebutkan:Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hiraki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin Ayyad, ditegaskan, dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya Syekh Abul Hasan asy Syadzily ra,bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak minimal ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.

2. Memiliki pengetahuan yang benar.

3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.

4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.

5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.

2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.

3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.

4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.

5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan ra menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.

2. Mempermainkan thaat kepada Allah.

3. Tamak terhadap sesama makhuk.

4. Kontra terhadap Ahlullah

5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy Syadzili mengatakan, Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.

Ibnu Athaillah As Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah.Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya.

Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.

2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.

3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.

4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.

5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara dan istiqamah.Perwujudan atas Ittiba sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qanaah dan pasrah total.

Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada Nya ketika mendapatkan bencana.Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,

2) Menjaga kehormatan,

3) Bakti yang baik,

4) Melaksanakan prinsip utama; dan

5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi tahap di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.Rasulullah saw. adalah teladan paling sempurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra dan Miraj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat
progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya.
Syekh Abdul Wahhab asy-Syarani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Marifati Qawaidus Shufiyah.


posted at 9/15/2006 02:52:00 PM by Razali Bin Hassan:: 0 comments: permalink


ARCHIVES

June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
January 2007
April 2007
May 2007
September 2007
October 2009

RECENT POSTS

Wasilah
Ihsan
Bab Pertama: Sekilas Tasauf
Bab Ke Dua: Kesaksian Ulama
Bab Ke Tiga: Tasauf dalam Islam
Bab Ke Empat: Tasauf dan Syariat
Bab ke Lima: Tasauf dan Hakikat
Bab ke Enam: Tasauf dan Makrifat
Hati itu Hijab
NAFI DAN ISBAT

CREDITS

©Kembang Wali (Syabab Zuhuur Awliyak)

©Design by Websong

Powered by Blogger

 

TAGBOARD






Scrollbar By, CarrielynnesWorld.com